DENGAN balutan seragam lengkap, sweater merah jambu serta tas di punggung, Kirana menatap boneka porselen yang berada di atas laci bajunya. Tangan bebasnya digerakan untuk membelai rambut kecoklatan boneka itu. Meski tampak menyeramkan di malam hari—bahkan Kirana sempat ketakutan sendiri ketika boneka itu tiba-tiba sedikit melorot dari tempatnya—tetapi Kirana tetap menyayangi boneka ini.
Ini boneka pertama dan satu-satunya yang pernah ayahnya berikan.
Kemarin malam ia telah mencoba menelepon toko pembuat boneka ini dan setidaknya itu membuahkan hasil. Nama pemesannya adalah Reina, mungkin wanita itu ialah saudara perempuan ayahnya. Sayang sekali Kirana hanya mendapatkan informasi sebatas nama dan nomor telepon yang sudah tak aktif masanya. Ia kini harus mencari seseorang yang bernama Reina itu.
Pada akhirnya, Kirana pun keluar dari kamar ketika sebuah panggilan telah mengusiknya, Reza telah selesai dari adegan 'setor' paginya. Cewek itu berjalan keluar, menyalami kedua orang tua Reza kemudian bergerak cepat menyusul Reza yang telah berada di mobil.
"Kirana, sebentar, Sayang," panggil Rani, membuat Kirana yang berdiri di ambang pintu hendak memakai sepatunya segera menghentikan kegiatannya. "Kenapa, Tan?"
Rani tersenyum lebar sembari merogoh sakunya dan kemudian memberikan beberapa lembar uang lima puluh ribuan. Kirana terkesiap ketika uang itu diserahkan padanya.
"Buat jajan kamu," jelas Rani singkat.
"Astaga, Tan," Kirana sedikit menggeleng dengan senyuman kekinya. Ia sekarang mulai terlihat seperti benalu. Sudah meminta tumpangan kini ia juga diberikan tunjangan uang saku. "Kirana negrepotin banget."
"Nggak apa-apa, Kirana. Terima aja. Kalau kamu nggak bisa nerima ini dengan alasan untuk jajan, anggap aja ini hadiah dari bantuan kamu kemarin. Terima ya, Sayang." Rani memasukan uang tersebut dengan cepat ke dalam tas cewek itu kemudian mendekap Kirana erat. Tak lupa wanita itu mengecup puncak kepala Kirana, persis seperti yang biasa ia lakukan ke Reza.
"Satu lagi," ucapnya sebelum Kirana merenggangkan dekapan. "Mulai sekarang, panggil Tante dan Om itu Mama dan Papa ya. Kami udah nganggep kamu sebagai anggota keluarga sendiri."
Kirana membeku di tempatnya. Tubuhnya sontak menghangat diiringi dengan matanya yang turut memanas. Ia memicingkan matanya, mencegah air matanya keluar kemudian mengangguk bahagia. "Terima kasih," katanya kemudian merenggangkan dekapan tersebut dan segera masuk ke dalam mobil.
Hari baru telah menjemput dan Kirana tak pernah merasa harinya seindah ini sebelumnya.
***
Pekikan nyaring tentang betapa leganya hari ini berakhir mengalir membahana di seantero sekolah. Bel pelajaran terakhir sudah berdering nyaring, mengalun bagai melodi harpa surga. Kirana pun sama bahagianya seperti yang lain. Pelajaran hari ini benar-benar membuatnya sakit kepala. Guru matematika wajibnya baru saja mencekoki semua murid dengan materi aturan sinus dan kawan-kawannya. Sebetulnya itu pelajaran yang tak terlalu sulit namun bukan Bu Gesha namanya kalau tak membuat segala yang mudah menjadi runyam.
Thessa pun yang sedari tadi duduk tegak langsung merefleksikan tubuhnya. Ia menggerak-gerakan tubuhnya ke kanan kemudian ke kiri dan di akhiri dengan menyenderkan kepalanya di pundak Kirana. "Hari ini berat banget, sumpah."
Kirana mengangguk setuju. Tadi pagi memang dia mendapatkan sesuatu yang indah namun semua terusik ketika Bu Gesha datang. "Padahal gue kira hari ini adalah hari baik."
Kepala Thessa yang semula tersender langsung terangkat. Dia menampilkan senyuman berserinya. "Ngomong-ngomong hari baik, pulang sekolah ini Jared dan bandnya mau latihan. Biasanya kalau dia sampe nyuruh temen-temennya lihat itu artinya permainan bandnya udah bagus."
KAMU SEDANG MEMBACA
TCP [1] : "Rebound"
Teen FictionReza selalu mendamba Salma berada kembali ke dalam hidupnya. Kembali ke masa lampau dengan jalinan cinta yang ia limpahkan semuanya untuk gadis itu. Namun sayang, kematian merenggut semuanya. Kirana selalu mendamba setitik kehangatan di kehidupan ke...