dua: "Dibalik Semuanya"

11.5K 974 19
                                    

[a/n: part ini kebanyakan narasi tapi isinya cuman 800-an words. ]

--¤--

LANGKAH kaki itu bergerak dengan pelan dan enggan untuk berjalan ke arah sebuah rumah dengan model minimalisnya. Rumah dua lantai dengan nuansa coklat dan hijau daun itu sebenarnya tampak nyaman, namun tidak bagi Kirana. Rumah itu neraka di bumi baginya. Jika ia bisa memilih, ia tak akan pernah mau menginjakan kakinya ke sini.

Pada akhirnya, langkah kaki itu terhenti di depan sebuah pintu utama berbahan kayu jati. Ada beberapa ukiran di sana dengan minat memperindah sang pintu agar orang-orang yang datang akan semakin takjub melihatnya. Namun, itu tak bekerja bagi Kirana.

Ia membuka pintu tersebut perlahan setelah melepas kedua sepatunya dan menempatkan sepasang sepatu tersebut di rak. Aroma khas dan hawa dingin mulai merebak menusuk tubuhnya. Tak akan pernah ada cahaya yang masuk ke sini, semua manusia di dalam mengurung diri, berusaha sebisa mungkin tidak mempedulikan orang lain selain dirinya masing-masing.

Kirana masuk dengan perlahan, tak ingin membunyikan bunyi sekecil apapun karena ia muak melihat ayahnya. Jangan salah, ayahnya sendiri lah yang membuat dirinya membenci pria dewasa itu. Ayahnya telah menelantarkan dirinya sejak bayi, mendidiknya dengan cacian dan kekerasan, lalu membentuk dirinya untuk dewasa dalam kebencian terhadap ayahnya sendiri.

Suara hening yang seperti biasa mengalun tiba-tiba buyar ketika sebuah pecahan barang menggelegar. Kirana berjengit kaget namun langsung bisa mengendalikan dirinya. Itu pasti ibunya yang depresi. Selain melakukan hal keji yang tadi ia ungkapkan, ayahnya juga telah membuat ibunya depresi berat walaupun sesungguhnya kesalahan itu ada pada wanita dengan tubuh kurus dan pandangan kosong tersebut.

Tak lama kemudian, sebuah pintu dari pemilik kamar yang paling tak ingin Kirana jumpai nomor dua terbuka, membuat sosok tubuh tegap dengan rambut acak-acakan dan mata penuh kebencian itu terlihat.

Dia Cakra Prasetyo, sosok abang yang sangat membenci adik perempuannya. Laki-laki yang umurnya di atas Kirana dua tahun itu menyeringai jahat, pandangannya begitu menusuk hingga ada getaran ketakutan mencuat dari tubuh Kirana. Namun, seperti biasanya, ia akan dengan lancang membalas tatapan itu tak kalah dingin.

"Lo lihat, 'kan, apa yang telah lo lakukan pada ibu gue?" Cakra berjalan mendekati Kirana masih dengan seringainya. "Seharusnya lo musnah. Anak haram kayak lo, ngga pantes hidup."

Geram, Kirana mengepalkan kedua jarinya di samping tubuhnya. Matanya masih tetap menangkup pandangan menusuk Cakra. Kirana balas tersenyum keji dan mendorong sosok besar itu untuk tidak menghadang jalannya. Ia segera memasuki kamarnya dan mengunci pintu dari dalam.

Satu-satunya ruangan teraman baginya di rumah ini adalah kamar dimana ia biasa tidur dengan damai. Di sini ia bisa menjadi dirinya sendiri. Maka dari itu, yang Kirana lakukan sekarang adalah merebahkan tubuhnya di atas kasur dengan mata yang memicing. Kepalanya ia selipkan di antara bantal, meredam tangisannya yang semakin menjadi. Satu lagi hari yang berat harus ia lewati dan entah sampai kapan penyiksaan ini akan terus berjalan.

Suara-suara pekikan penuh depresi yang disusul oleh bentakan mulai meraung-raung memasuki telinga Kirana. Gadis itu menggeleng dan semakin menenggelamkan kepalanya, mencoba mengtidakacuhkan dunia di bawah sana. Kirana tahu persis siapa saja orang yang memancarkan gelombang suara itu. Mereka adalah ibu, ayah, dan Cakra. Jika ibunya kambuh, ayahnya akan membentaki ibunya hingga ibunya terdiam sementara Cakra akan terus meraung tentang betapa na'as hidupnya berada di rumah ini bersama Kirana. Miris memang namun apa daya Kirana saat ini?

Di tengah redamnya daerah sekitar, Kirana semakin memejamkan matanya, mengatur perasaannya agar berhenti menangis dan saat itu pula sebuah kehangatan menjalar dari lubuk hatinya.

Reza.

Sebuah nama yang asing namun di satu waktu terasa familiar mengalun di dalam otaknya. Semakin banyak nama itu berputar, rasa hangat itu semakin menjalar seakan nama cowok yang tadi memeluknya adalah sebuah energi. Otaknya memutar bagaimana pelukan hangat nan lembut itu melingkupi dirinya dan mendekapnya begitu protektif bagaikan porselen mahal.

Ia merindukan kehangatan, ia rindu, sangat.

Kirana mengangkat kepalanya sedikit dan merubah posisi tidurnya. Ia meringkuk di tengah tempat tidur dan dia menemukan dirinya kembali menangis hebat. Kirana menyeka kembali air matanya dan memejamkan mata, berusaha menghapus semua kesedihannya hari ini dengan bergumam sebuah lirik lagu favoritnya, lagu yang selalu menjadi pengantar hidupnya setiap hari.

"Hear me out, there's so much more to life than what you're feeling now. Someday you'll look back on all these days and all this pain is gonna be invisible."

***

Seperti malam biasanya, Reza tampak tenang di balkon rumahnya dengan segelas kopi panas dan album hitam dengan beberapa coretan di sampulnya. Tangan laki-laki itu tak hentinya menggoyang-goyangkan pelan cangkir kopinya, membuat sebuah pusaran di tengah cairan tersebut.

Reza benar-benar tak mengerti. Di saat ia ingin berjalan maju, kenapa harus ada hambatan yang menghalang. Kenapa gadis dengan paras Salma datang ke hadapannya? Kenapa gadis itu terlihat begitu rapuh di dalam dekapannya? Kenapa dia begitu lemah?

Berat, hari pertama yang berat dan Reza benar-benar sudah memulai semester barunya dengan frustrasi.

Malam semakin larut dan kopi panas itu sudah mulai melepaskan kalornya. Hawa dingin sudah berdayu-dayu, mengajak para penghuni malam untuk bersenang-senang namun Reza masih bergeming di tempatnya.

Ia merindukan Salma hingga rasanya Kirana sudah seperti Salma baginya.

TCP [1] : "Rebound"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang