enam: "Ditinggalkan"

9.4K 803 119
                                    

MASIH dengan senyum terulas, Kirana memasuki rumahnya yang terasa seperti hari biasanya. Begitu sepi, suram, dan dingin. Kakinya mulai menata langkah ke arah tangga namun segera terhenti ketika sebuah aroma yang tak wajar mulai menusuk indra penciuman cewek itu.

"Bau apaan nih?" tanyanya retoris kemudian mulai mengikuti aroma tak sedap tersebut.

Kakinya terus berpijak dan semakin ia melangkah, aromanya semakin menguat. Kirana yang tak tahan akan bau anyir seperti ini langsung terbatuk ketika aromanya terus menguat. Dirinya menutup kedua lubang hidungnya dengan tangan, mencegah dirinya terbatuk hingga muntah karena jujur saja, dia paling tak tahan dengan aroma seperti ini.

Pada akhir pencariaannya, aroma tersebut membawa tubuh Kirana ke depan sebuah pintu coklat kayu besar. Kirana menenggak salivanya gugup, ini kamar ibunya dan kenapa bau anyir tersebut berasal dari sini?

Bayang-bayang imajinasi liarnya mulai terlukis di otaknya, beberapa praduga mulai saling berserobok meminta dibenarkan, dan napas Kirana mulai memberat seirama dengan segala hal kemungkinan yang terjadi di dalam sana. Tubuhnya bergetar hebat. Tangan gemetarnya menyentuh gagang pintu yang dingin kemudian mulai membuka pintu berat tersebut perlahan.

Bau anyir semakin menusuk ketika pintu besar tersebut berhasil terbuka sempurna. Kirana menjatuhkan dirinya, terkulai lemas di depan ruangan. Tubuhnya semakin bergetar dengan napas yang memburu seakan mengais oksigen di udara. Tangan yang semula menutup hidungnya berlabuh ke dadanya yang bagaikan ditikam timah panas.

Di sana, di tengah ruangan yang cukup besar ini, terdapat sebuah jasad yang menggantung karena tali di lehernya. Tetes-tetes darah akibat sayatan lebar di pergelangan tangan masih meluruh menodai lantai. Darah merah gelap itu menggenang di bawah, memberikan cerminan objek di atasnya yang tergantung.

"Ngga ... ini ngga mungkin." Air mata Kirana meluruh diiringi dengan kepalanya yang menggeleng. Ia berteriak histeris kemudian dengan sisa tenaganya, dia mulai berlarian menjauhi kamar ibunya. Kakinya yang lemas membuat dirinya jatuh beberapa kali namun sebelum kepalanya kembali menyentuh lantai akibat kejatuhannya, sebuah tangan terulur untuk menangkapnya.

Kirana segera menegadah dan memeluk erat Adam yang menangkap tubuhnya. Ia menangis begitu pilu, membuat Adam dan Cakra yang baru saja memasuki rumah menatapnya bingung.

"Kenapa, Kir?" tanya Adam sambil mengelus punggung adiknya yang bergetar. Pandangan Adam beralih ke arah Cakra yang membuang wajahnya tak peduli. Niat awalnya yang hanya ingin mengambil uang di kamarnya harus tertunda akibat ulah adik yang sudah tak dia anggap.

"Heh, Kir, cepet elah jawab lo kenapa? Jangan bikin gue harus menunggu lama," sungut Cakra yang langsung diberi pelototan Adam. Belum sempat Adam menghamburkan balasan, lirihan Kirana lebih dahulu menyelanya.

"Mama bunuh diri di kamarnya."

***

Jika Kirana disuruh memilih untuk menentukan mana hari terburuk dari seluruh hari buruknya, ia akan menyandangkan hari ini adalah hari terburuknya.

Setelah Adam dan Cakra memeriksa jasad Diana, Adam dengan segera menelepon Ridho—ayah mereka—dan pihak-pihak yang dapat membantu untuk membereskan jenazah Diana. Cakra seperti biasa memarahinya kembali, menuangkan segala raungannya dengan kata-kata kasar kemudian berlalu pergi keluar.

Hari ini lebih dingin dari biasanya. Kata-kata Cakra begitu mengenang di dalam pikirannya, berputar di sana bagai kaset rusak yang tak ada keinginan untuk diganti oleh pemiliknya.

'Semua kesialan di hidup gue itu karena lo, Kirana! Gue harap lo musnah dari hadapan gue, pergi dan jangan pernah ingin menampakan diri lo kembali ke hadapan gue!'

TCP [1] : "Rebound"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang