lima: "Teman"

10K 817 88
                                    

PAGI yang seperti biasa di rumah Kirana. Suasana begitu hening, sepi, dan dingin bagaikan tak ada seseorang pun yang tinggal di sana. Semua orang akan selalu sibuk dengan urusannya masing-masing, Adam sekali pun. Pagi-pagi sekali cowok itu telah pergi meninggalkan rumah, urusan kuliah seperti biasa.

Kirana menatap cermin di hadapannya saat ini. Jam di dindingnya telah menunujukan pukul enam tepat namun ia masih enggan untuk meninggalkan kamarnya. Ini adalah tempat teraman bagi Kirana di sepanjang hidupnya. Hanya di sini tempat ia berlindung dari dunia luar, dari keluarganya sekali pun.

Matanya lagi-lagi menelisik rupanya di dalam cermin. Mata bengkak akibat tangisannya malam tadi telah mengendur akibat air hangat, kulit pucatnya telah ia balur bedak sangat tipis. Selalu seperti ini sejak masalah keluarganya menuaikan titik terang. Entah kapan terakhir kalinya ia mendengar canda tawa di rumah ini, ia sama sekali tak ingat.

Setelah memantapkan hatinya dan merasa siap untuk kembali lagi berjuang hari ini, Kirana mengambil tasnya dan dipakaikan tas itu di pundak. Kakinya melenggang perlahan seakan mengendap-endap, jantungnya berdegup tak karuan. Ia tak ingin bertemu Cakra yang notabene berada di kelas 12 sekarang. Otomatis, abangnya itu akan pula berangkat di pukul enam lewat sepuluh pagi.

Kirana menghela napas lega ketika telapak kakinya menyentuh lantai teras rumah. Segera saja ia mengikat tali sepatu dan mengambil ancang-ancang untuk berlari keluar ketika suara langkah Cakra terdengar memasuki telinganya. Bertemu Cakra adalah hal tersial bagi Kirana, terlebih lagi di pagi hari. Saling bertatap muka dengannya hanya akan membuat Kirana masuk kembali ke kanal penyiksaan.

"Sopan banget ya lo, Kir. Ketemu abang sendiri malah kabur. Sangat mencerminkan anak baik."

Telat satu detik. Kirana mengerang dalam hati. Padahal jemarinya telah menyentuh pegangan pagar yang hanya tinggal ia gerakan sedikit, maka dirinya akan terbebas dari jeratan penuh siksa di rumah ini. Cewek itu membalikan badannya, tak lupa menyinggungkan senyuman semanis mungkin. "Memangnya lo masih nganggep gue adek?"

Cakra menyeringai dengan sebelah alisnya yang terangkat. "Oh, jangan harap. Lo ngga layak jadi adek gue dan lo tahu itu. Lo cuman kutu pengganggu ngga berguna di sini, kenapa ngga pergi aja?"

"Gue akan lakukan itu, Cakra, tapi sayang keinginan lo ngga bisa terpenuhi sampai Mama sembuh atau setidaknya Mama akan menandakan kondisi mengarah ke arah baik."

"Lo tahu ngga, sih? Karena lo, Mama kayak gitu!" Suara Cakra mulai meninggi, bagai petir menyalak di tengah hujan. Bisa Kirana rasakan pandangan menusuk abangnya itu. "Gue heran, Kir, kenapa gue bisa begitu bahagia menyambut lo dulu saat lo ada di kandungan Mama? Kenapa lo harus lahir, Kir? Kenapa?!"

Pertanyaan Cakra begitu menusuk hingga ke ulu hati, mengoyak daerah sana hingga terbelah dua tak beraturan. Kirana mengatur napasnya yang memburu. Tidak, ia tak boleh menangis saat ini, terlebih lagi di jam sekolahnya. Ia tak akan lemah, tak boleh lemah di hadapan Cakra. "Asal lo tahu, Cakra. Kalo gue bisa memilih, gue juga ngga akan mau lahir terlebih lagi dapetin kakak kayak lo!"

Kirana segera membuka pintu pagar, melesat sejauh-jauhnya yang ia bisa sembari berlarian. Ia seharusnya sudah berangkat lima menit yang lalu agar dapat sebatas mengerjakan PR di sekolah atau sarapan di kantin. Langkah Kirana memburu, sesak begitu melingkupinya hingga air matanya perlahan merebak. Ia mengumpat, kenapa dia begitu lemah?

Pada akhirnya, kecepatan langkahnya menyurut hingga ia terhenti di sebuah lapangan basket yang berubah menjadi lahan parkir warga. Air matanya tak terbendung kali ini, ia mengusap matanya berkali-kali namun air matanya tak juga terhenti. Perkataan Cakra menusuk terlalu dalam. Jangan kira ia tak pernah bertanya seperti itu pada dirinya. Kirana selalu bertanya apa maksud Tuhan memberikan hidup kepadanya jika terus saja ia tersakiti seperti ini.

TCP [1] : "Rebound"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang