Delapan : Terungkapnya Rahasia

1.3K 63 3
                                    

JANTUNG ATAU HATI

Ketika cinta tak berpihak padaku…”

(Part delapan)

#Terungkapnya Rahasia

****----****----****

Ini tentang rahasiaku. Tak ada yang tahu dan tak ingin tahu. Terlalu menyakitkan, terlalu melelahkan. Rahasia biarlah jadi rahasia. Hanya aku yang tahu dan kamu yang membaca kisahku.”

****----****----****

“Elsa! Hey!” Kepanikan luar biasa, bingung antara ingin mengejar Lyn atau menolong Elsa melanda Erick. Faren dan teman-teman se-Galaxy memilih untuk membubarkan pesta. Keadaan yang rumit seperti ini tak disangka sama sekali. Maka dari itu, pesta diakhiri.

“Rik, bawa Elsa ke kamar gue,” perintah Faren yang sudah ada di sampingnya.

“Apa nggak sebaiknya dia di bawa ke rumah sakit?”

Faren menggeleng. “Lebih baik ke kamar gue aja. Elsa nggak suka di rumah sakit. Nanti gue telfonin dokter pribadi keluarga gue.” Erick akhirnya memilih mengiyakan. Dengan cepat ia mengangkat tubuh Elsa memasuki rumah Faren.

****----****----****

Mobil berhenti tepat di depan teras rumah. Setelah mesin mobil mati, buru-buru Alvin keluar. Dibukanya pintu mobil satunya lagi. Perlahan penuh kehati-hatian ia mengangkat tubuh Lyn keluar dan segera membawanya ke dalam rumah. Ditekannya bel rumah beberapa kali dengan tidak sabaran. Bukannya tidak ada apa-apa, tapi suhu tubuh Lyn dalam gendongannya begitu panas. Sangat aneh menurutnya untuk ukuran orang sehat seperti Lyn yang mudah demam.

Pintu rumahnya terbuka. Menampakkan sosok wanita paruh baya yang telah bekerja lama di rumahnya.

“Den Alvin it-“

“Nanti aja, Mbok. Kamar tamu udah selesai diperbaiki belum?”

“Belum, Den.”

Alvin langsung berjalan menaiki tangga menuju lantai dua. Entahlah, mendengar kamar tamu belum selesai diperbaiki, pikirannya langsung mengingat kamarnya sendiri. Langkahnya terasa ringan, sama sekali tak merasa keberatan karena tubuh Lyn yang menurutnya cukup ringan. Sedikit kesusahan saat membuka pintu kamarnya, beruntung Bik Ijah datang membantu.

Dibaringkannya Lyn di atas tempat tidurnya. Bik Ijah tampak kebingungan, tapi wanita itu tahu tuannya itu sedang tidak ingin ditanya.

“Bik, tolong ganti baju teman saya ya? Terserah Bibi mau ambil baju saya nggak papa, yang penting dia nggak masuk angin nantinya. Saya mau ganti baju dulu sama ambil air hangat buat ngompres.”

“Baik, Den.” Setelah itu Alvin membuka lemari baju dan mengambil baju ganti. Menggendong Lyn, otomatis pakaian yang dikenakannya tadi ikut basah. Kemudian ia keluar dari kamar menuju ke dapur. Pikirannya dipenuhi rasa penasaran sekaligus ketekejutan akan sikapnya kali ini. Membawa Lyn ke rumahnya benar-benar diluar dugaannya. Ini hanya refleks akan kepanikan yang melanda.

Segelas air putih tandas tak bersisa. Dahaga yang datang beriringan dengan kepanikan perlahan luntur, tergantikan kelegaan dan kesegaran pada pikirannya. Matanya memandang kulkas di depannya sembari bersandar di meja makan. Semuanya terasa salah, ini bukan skenario yang dibuatnya. Bukan.

“Lyn.” Ia kembali menghembuskan nafasnya dengan kasar. Ia berbalik, meletakkan gelas kosong di atas meja. Kemudian ia berjalan menuju lemari penyimpanan mencari mangkuk berukuran sedang sebagai wadah air hangat untuk mengompres Lyn. Tiba-tiba bik Ijah sudah ada di dapur sembari membawa baju milik Lyn yang basah. Rencananya baju milik Lyn akan ia cuci.

“Bik, tolong telfon ayah dan tolong bilangin ada temen saya yang sakit dan butuh pemeriksaan.”

“Baik, Den. Kalau begitu saya cuci dulu baju temennya den.”

Alvin mengangguk. Bik Ijah segera membawa pakaian milik Lyn dan Alvin yang basah tadi ke mesin cuci dan melaksanakan perintah dari Alvin. Sedangkan Alvin menunggu air rebusannya panas.

Tak lama, Alvin membawa semangkuk air hangat dan handuk kecil untuk mengompres Lyn ke kamar. Dilihatnya Lyn yang terlelap dengan selimut menutupi tubuhnya tak sampai bahu. Pucat. Wajah cewek itu pucat setelah bik Ijah membersihkan sisa make up yang luntur setelah Lyn tercebur ke kolam.  Sangat kotras dengan saat pesta di rumah Faren tadi.

Disibaknya poni yang menutupi dahi Lyn. Alvin menghembuskan nafas untuk ke sekian kalinya. Ia mulai mengompres dahi Lyn. Tubuh Lyn benar-benar panas. Seharusnya ia membawa Lyn ke rumah sakit, bukan ke rumahnya.

Tiba-tiba terdengar deru mobil dari arah depan rumah. Alvin bangkit berdiri, menengok lewat balkon kamar. Mobil hitam mengkilap terpantulkan sorot cahaya lampu di sekeliling taman di depan rumah terparkir dengan sempurna.

*****-----*****-----*****

Dokter Farhan keluar dari dalam mobil. Pandangannya tertuju pada mobil jazz hitam terparkir di depan mobilnya. Berarti putranya sudah pulang. Sembari menenteng snelli dan tas kerja, ia masuk ke rumah. Setelah menekan bel beberapa kali, akhirnya pintu terbuka. Menampakkan asisten rumahnya yang telah bekerja selama 10 tahun bersamanya.

“Selamat malam, Tuan,” sapa bik Ijah. Dokter Farhan membalas sapaan itu dengan tersenyum, lelah hari ini begitu terasa. Hari ini beberapa pasiennya melakukan check up rutin. Ia duduk di sofa ruang tamu dan melepas sepatu yang dikenakannya hari ini.

“Alvin sudah pulang ya?”

“Sudah, Tuan. Tadi Den Alvin pulang sama temennya.”

“Oh. Sandy atau Denny? Atau dua-duanya?”

Mbok Ijah tampak kebingungan untuk menjawab. “Eee… begini tuan, Den Alvin sama temen perempuannya, te-“

“Temen perempuan?!” Dokter Farhan menolehkan kepala dengan cepat ke arah mbok Ijah yang berdiri di sampingnya. Wajahnya terkejut luar biasa. Sekonyong-konyongnya Alvin, putra tunggalnya itu sama sekali tidak pernah mengajak teman perempuannya ke rumah ini. Ditambah tengah malam seperti ini?!

“Eh, itu temennya Den Alvin sa-“

“Ayah, tolong tem-“ Alvin muncul setelah menuruni tangga dan mendekat ke arah ayahnya yang baru pulang dari rumah sakit. Namun, belum selesai ia melaporkan keadaan Lyn, sang Ayah sudah memotong perkataannya.

“Alvin! Kamu sudah gila, hah? Bagaimana bisa kamu mengajak temen perempuan kamu ke rumah tengah malam seperti ini!” bentak Dokter Farhan yang menggelegarkan seluruh ruang tamu. Puteranya ia perbolehkan untuk pulang malam ataupun menginap di rumah teman-temannya, tapi, untuk membawa perempuan ke rumah mereka malam-malam sudah melewati ambang batas kebebasan yang ia berikan.

Alvin tersentak. Terkejut. Kenapa ayahnya marah-marah seperti ini, padahal dirinya belum selesai mengatakan yang sebenarnya. Ia menghela nafas, kemudian kembali melanjutkan perkataannya yang tertunda akibat terpotong. Jika dilawan dengan sama emosinya, pasti tidak cukup hanya satu jam mereka berdebat.

“Ayah dengerin, Alvin dulu oke? Terserah nanti kalau ayah mau marahin aku nggak papa. Yang penting sekarang Alvin mau jelasin kenapa Alvin bawa temen cewek ke rumah ini,” jelas Alvin. Dokter Farhan menurut, memilih mendengarkan penjelasan sang anak. Kedua tangannya bersedekap di depan dada, seakan menambah kesan bahwa ia butuh penjelasan segera.

Alvin memilih berbohong. Yup, tidak akan ia ceritakan bagaimana Lyn bisa basah kuyup dan akhirnya sakit. Ia berdalih, Lyn dalam keadaan tidak sehat, lalu tidak sengaja tersandung dan tercebur di kolam renang di rumah Faren. Akhirnya Lyn mengalami demam tinggi. Karena Alvin tidak tahu rumah Lyn, akhirnya ia membawa cewek itu ke rumahnya. Ya. Sesimpel itu. Cukup hanya itu, atau jika ia bercerita yang sebenarnya, ayahnya itu akan marah besar karena hanya masalah kisah cintanya ‘terusik’, orang yang tidak ada hubungannya dengan semua ini malah jadi korban.

“Begitu? Terus bagaimana? Udah kamu kompres dia?”

“Sudah.”

Dokter Farhan menghela nafas. Ia menggulung lengan kemejanya sedikit. Mungkin ia akan memeriksa teman putranya itu yang ia dengar bernama ‘Lyn’. Dokter Farhan menaiki tangga menuju kamar Alvin. Sedangkan Alvin mengikuti di belakang.

Pintu putih kamar Alvin terbuka seiring Dokter Farhan masuk beserta Alvin. Dokter Farhan mengamati sekeliling kamar bercat abu-abu itu dan pandangannya berhenti pada tempat tidur Alvin yang yang berada di sisi sebelah kanan. Matanya memicing seiring langkahnya yang kian dekat dengan sosok Lyn yang terbaring di atas tempat tidur.

Semakin dekat hingga jarak kurang dari satu meter, picingan matanya berubah jadi membelalak lebar selebar-lebarnya. Ia langsung duduk di pinggiran tempat tidur, meraih pergelangan tangan Lyn dan memastikan denyut nadi gadis itu berdenyut normal. Telapak tangannya menyentuh kening Lyn dan leher memastikan suhu tubuh Lyn. Demam. Lyn terkena demam.

“Alvin! Cepat bawakan tas kerja Ayah!” perintahnya dengan nada panik. Alvin terkejut melihat sikap ayahnya yang panik. Ia berjalan cepat menuju kamar ayahnya yang ada di samping kamarnya. Mengambil tas kerja ayahnya dan kembali ke kamar.

“Eva tadi bawa tas? Atau dompet?” tanya Dokter Farhan saat Alvin baru saja kembali ke kamar. Alvin meletakkan tas kerja sang ayah di dekat tubuh ayahnya yang tengah memeriksa Lyn. Kening Alvin berkerut mendengar ayahnya menyebut Lyn dengan ‘Eva’. Terasa asing, tapi ingatannya dengan cepat mengingat nama lengkap Lyn. Evalyn. Begitu yang diingatnya.

“Tidak. Tadi Lyn-eh maksudku Eva berangkat bersama temannya.” Lidahnya masih belum bisa memanggil nama lain Lyn. Dan pertanyaan demi pertanyaan berdatangan ke otak. Bagaimana ayahnya itu mengenal Lyn? Kenapa ayahnya terlihat khawatir seperti itu? Mana mungkin Lyn itu salah satu pasien ayahnya? Lagian belum tentu ayahnya juga ingat dengan pasiennya.

Kalau diingat-ingat lagi , dulu tak sengaja dirinya bertemu dengan Lyn di rumah sakit saat dirinya ingin mengunjungi ayahnya. Dan melihat cewek itu membawa amplop putih bertuliskan nama dokter Farhan yang notabene adalah Ayah Alvin. Lyn berdalih amplop yang dibawanya saat itu adalah hasil tes kesehatan ayah cewek itu.

“Apa dia mengeluh pusing tadi? Atau dia sempat muntah? Atau merasa sakit di dadanya?” Pertanyaan beruntun dokter Farhan lontarkan sembari memeriksa Lyn.

“Tidak. Dia tidak mengeluh sama sekali. Dan bagaimana ayah kenal dengan Lyn?” Pertanyaan itu akhirnya terlontar. Pertanyaan yang sempat menggumpal dalam pikiran.

Dokter Farhan menghela nafas, ada kelegaan luar biasa. Bahkan tanpa sadar ia terlalu panik menghadapi Lyn yang tiba-tiba sakit. Padahal hanya sakit demam karena gadis itu kebasahan akibat tercebur ke kolam. Ia memasukkan stetoskop kembali ke dalam tas.

“Nanti kamu berikan paracetamol kalau dia bangun. Dia putri temen ayah.”

“Kenapa ayah begitu panik? Memang Lyn sakit apa?”

Dokter Farhan hanya diam. Untuk penyakit Lyn, itu adalah privasi. Lyn memintanya untuk bungkam tentang penyakit yang diderita gadis itu, maka ia akan bungkam. “Dia tidak sakit apa-apa. Dia baik-baik saja.”

“Ayah jangan bohong! Aku bertemu Lyn di rumah sakit dan dia bawa amplop. Ada nama ayah di sana, berarti dia pasti berkonsultasi penyakitnya pada Ayah!”

Farhan tersentak. Benarkah puteranya bertemu dengan Lyn di rumah sakit dan melihat amplop putih yang diberikannya pada Lyn? Jika benar, Alvin pasti tahu.

“Tidak. Lyn tidak sakit apa-apa. Ayah mau istirahat dulu. Kamu jaga Lyn, oke?” Farhan bangkit berdiri. Keluar dari kamar sang anak, mengabaikan pertanyaan Alvin.

Alvin memandang kepergian sang ayah meninggalkannya dalam penasaran. Ia berjalan sembari menarik kursi belajarnya mendekati tempat tidur. Dipandanginya wajah Lyn intens. Entah mengapa sekarang kepalanya dipenuhi cewek yang masih belum bangun dari pingsannya ini. Pertanyaan-pertanyaan berputar di pikiran menuntut untuk diutarakan.

****----****----****

Jantung Atau Hati? (Complete) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang