1

675 79 5
                                    

CYRINDA BEATARISA POV


Kalau kalian berekspetasi bahwa hidupku normal seperti tokoh utama perempuan dalam cerita lain, itu salah besar. Terkadang, keadaan normal tercipta karena pasti ada ketidak-normal-an dari cerita lain. Yep! Sebut saja itu adalah aku.

Karena setiap weekend ...,


BUGH!


... aku akan mendapatkan sesuatu yang mengerikan seperti ini.

Aku terjatuh untuk ke sekian kalinya saat mendapat pukulan dari ayahku sendiri di daerah pipi kiri. Padahal, memar minggu kemarin saja masih belum sembuh. Aku meraba pelan sudut bibir yang terasa perih, aku tebak, pasti sobek lagi.

Kulihat si pelaku baru saja menjatuhkan dirinya sendiri di atas kasur. Niat melawan selalu aku buang jauh-jauh, karena ada beberapa hal penting. Pertama, dia adalah ayahku. Kedua, dia sedang mabuk. Baiklah, anggap saja aku sinting karena yang biasa aku lakukan hanya terus melayaninya. Bukan berusaha kabur seperti yang orang waras lakukan.


TES!


Bodoh, padahal ini sudah biasa terjadi. Tapi ... kenapa masih menangis?

Di antara keheningan yang merayap, aku menahan tangis di luar kamar ayahku sendiri. Malam menyapa, dingin mendekat, dan sisa-sisa keperihan fisik maupun batin menaburi kemirisan hidupku ini. Sungguh menyedihkan, pola hidupku terus seperti itu dari tahun ke tahun.
















***

Pagi menyapa, dengan terburu-buru aku menyiapkan sarapan untuk ayahku. Walaupun kurang tidur selalu menjadi problem yang sama, aku tetap akan melakukan yang semestinya. Berbakti pada orang tua, dan diam-diam berharap bahwa hati ayah akan luluh.

"Cyrinda!!!" teriak ayah dari dalam kamar dengan keras. Aku sampai terlonjak kaget dan menoleh secara otomatis ke arah pintu kamar ayah yang sudah terbuka dan menampakkan sang empunya. "Aku daritadi memanggilmu dari kamar!"

"Maaf Ayah, aku tak mendengarnya ..." jawabku sedikit terbata dan ketakutan. Sepertinya, harapanku tadi harus dibuang saja ke tempat yang tak terjangkau.

"Kau tuli, ya?!" bentaknya lagi. Ayahku berjalan ke meja makan dan duduk di salah satu kursi sambil memperhatikan menu makanan yang aku buat. Dengan susah payah, aku menelan ludahku. "Telur lagi?!"

Sudah kuduga, ayah pasti akan membahas menu sarapannya hari ini.

"Hampir setiap hari kau memasak telur, apa tak bisa memasak yang lain?!" bentaknya sambil menggebrak meja. Aku sudah tak khawatir pada tetangga karena kebisingan ini. Karena walaupun mereka tahu, tetap takkan ada yang ingin ikut campur dalam urusan keluarga tak normal ini.

Dalam kata lain, tak ada yang akan menolongku.

"Jawab!" bentak ayah menatapku dengan tajam.

Bukan karena tak bisa memasak yang lain, Ayah. Tapi kau tak pernah memberiku uang ...

"Nanti aku masakkan yang lain," jawabku menatapnya takut-takut. Dengan sedikit kasar, beliau memakan sarapan buatanku. Sepertinya, aku harus merelakan sarapanku lagi untuk hari ini. Karena kalau aku tak bergegas untuk bekerja, maka ada kemungkinan dia akan kembali mengamuk.




















***

BRUK!

Aku membuang sampah di rumahku walau dengan dandanan sudah cukup rapi untuk berangkat kerja. Ayah memakiku karena dapur terasa bau busuk. Padahal, aku tak merasa demikian. Entahlah, biasanya beliau memang selalu melebih-lebihkan urusan kecil.

Aku mematung, menatap diriku sendiri di kaca besar yang ada di sampingku. Sepertinya kaca bekas, soalnya tampak retak sana-sini.

Tubuhku kurus, kian kurus setiap harinya. Kulitku putih pucat, bibirku kering, ditambah mataku sayu. Mungil tapi tampak mengerikan. Aku mendudukkan diri di pinggir jalan dekat pembuangan sampah di dekat rumahku dan memegang perut yang daritadi terus saja memberontak minta dikasih makan.

Makan? Uang saja tak punya. Kemarin 'kan aku baru saja dipecat menjadi Cleaning Lady di salah satu perusahaan.

Begitu menyedihkan. Aku yang berumur 22 tahun ini 'kan seharusnya melanjutkan kuliah S2 atau setidaknya bekerja dengan AC yang menggantung di ruangan. Duduk dan memainkan jari di atas keyboard laptop mahal. Sayang sekali, apa yang kuharapkan dari ijazah SMA?

Ibuku meninggal, ayahku sangat emosian, hampir setiap weekend aku kena pukul dari tangan keriputnya. Walau begitu, entah kenapa masih terasa sakit jika pukulan kembali melayang ke salah satu anggota tubuhku. Terkadang rasanya aku ingin ayah sekalian saja membunuhku pada saat itu terjadi.

Aku menghela napas, mengingat itu semua membuat dadaku sesak. Rasanya tak ada kemajuan dalam hidupku beberapa tahun terakhir. Menerima setumpuk rasa sakit seorang diri. Bekerja banting tulang untukku dan ayah yang tak pernah memberiku sepeser pun uang.

Kalau punya uang? Pasti dia pakai untuk mabuk-mabukkan seperti semalam.

Hidupku kacau ...

Aku meringis pelan, sepertinya aku harus mencari makan secepat mungkin. Perutku mulai perih karena menahan lapar sejak semalam. Kalau begini, aku jadi heran dengan orang-orang yang melakukan program diet, manusia hidup itu 'kan untuk makan.

Kulirik sekilas seekor kucing manis yang anehnya makan dengan tak sehat. Mengaduk-aduk sisa makanan di tempat sampah, membuatku berpikir untuk melakukannya juga. Sayang sekali aku tak serendah itu untuk mengenyangkan perutku. Walau badanku memprihatinkan, selebihnya aku masih sehat dan punya pekerjaan untuk dilakukan.


TUK!


"Ini ..." ujar seseorang dengan suara beratnya. Aku mencium bau yang sedap saat mendongak, dan tentu saja penyebab bau itu sudah ada di depanku. Sebuah macaron berwarna-warni di dalam box yang tersaji secara cuma-cuma. Indah. Itu kesan pertamaku pada makanan itu, karena aku baru pertama kali melihatnya selama hidup.

Namun selanjutnya ...,



"Eh?"

... aku tak tahu maksud orang itu menyondorkannya padaku apa.

CYRINDA POV END

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


CYRINDA POV END















Yes, akhirnya sempat juga membuat FF Monsta X :'

PATTISERIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang