"Mia?"
Terdengar suara seseorang memanggilnya. Tersentak. Mata yang menatap nanar itu mengerjap kaget. Terdikstrasi akan pandangannya terhadap pasangan muda bahagia dan saling jatuh cinta di depannya. Kepalanya menoleh ke sumber suara.
Mia keliru. Bukan Arka yang memanggilnya. Pemuda itu dan gadis pujaannya berjalan lurus meninggalkan drama kepedihan di hati Mia. Sama sekali tak menyadari eksistensi Mia yang hanya berjarak tiga meter dari mereka. Tersamarkan dalam bayangan semu bernama kasmaran, dimana dunia hanya milik mereka berdua, dan Mia sebagai figuran, jelas tercampakkan begitu saja.
Luna lah pemilik suara tadi. Sahabatnya itu hanya bisa menggeleng kepalanya. Seperti biasa ia hanya mengangguk maklum. Bergantian memandangi sahabatnya yang berdiri terpaku dengan pandangan nanar dan sepasang anak manusia kasmaran yang berjalan jauh meninggalkan mereka.
"Sampe kapan lo terus-terusan jadi buntutnya Arka, Mia?" Omel Luna tak mengerti. Usai Mia membalas panggilannya tadi dengan canggung, Luna menarik tangan sahabatnya. Dan sekarang disinilah mereka. Duduk di sudut ruangan di bawah pendingin ruangan yang berhembus fantastis. Tapi Luna yakin sekali, mau sedingin apapun ruangan ini, hati sahabatnya ini pasti sedang panas-panasnya. Mendidih. Hanya saja ia berusaha menyembunyikannya.
"Gue gak ngebuntutin Arka, Luna." Sergah Mia. Meletakkan gelas minumannya di atas meja. Lantas mencuwil potongan donat di atas piring. "Tadi gue habis nemenin Pram, berhubung dia pulang duluan karena urusan mendadak, jadilah gue sendirian. Dan.. yah gue ngelihat Arka. Gak sengaja. Sama sekali gak ada niat buat ngebuntutin dia"
"Basi lo, Mi! Dari dulu alasannya selalu itu. Dan kalaupun iya lo gak ngebuntutin Arka, lalu tiba-tiba ngelihat dia lagi mesra-mesraan sama cewek barunya, kenapa ekspresi muka lo kayak istri lagi mergokin suami selingkuh, hah?"
"Gue?" Mia menunjuk dirinya sendiri, tersenyum kecut. "Gue belum nikah ngomong-ngomong. Jadi gue gak tau rasanya mergokin suami selingkuh."
Luna mendecak kesal. "Ah, Mia! Terus aja. Terus! Terus sembuyiin perasaan lo. Sampe Arka tobat jadi playboy karatan pun lo bakalan selamanya kayak gini. Jadi pesakitan cinta. I've told you, Mi! Tanpa lo bilang pun gue tau lo itu suka sama Arka. Ah bukan suka, tapi cinta, no..no... bukan cinta lagi. Tapi obsesi. Lo terlalu terobsesi sama dia, dan akhirnya lo lupa diri. Terbutakan oleh perasaan berlebih lo buat Arka. Mirisnya, entah saudara bengal lo itu pura-pura gak tau atau emang dia terlalu tolol untuk menyadari perasaan lo ke dia."
Mia menunduk lesu. "Lo tau sendiri kenapa gue bersikap seperti ini, Lun."
"Ya. Dan itu alasan terbuncit yang pernah gue denger dari banyaknya alasan klise atas nama cinta."
"Menurut lo, kalau gue bilang semuanya ke Arka, apa akan berpengaruh ke hubungan kami? Gue—"
"Ada dua pilihan untuk lo saat ini, Mi!" potong Luna. Dua jarinya terancung di udara. "Pertama, segera lo nyatain perasaan lo. Supaya manusia bengal macam Arka sadar diri kalau selama ini ada cewek sebaik lo diam-diam mencintai dia. Untung-untung dia tobat setelahnya. Meskipun gue yakin seratus persen lo gak bakal lakuin itu."
"Itu bukan saran, Lun. Tapi hinaan. Thanks!"
"Gue cuma berharap yang terbaik untuk sahabat gue. Ditambah lagi sekarang Arka punya gandengan baru. Boleh juga lah. Siapa?"
Mia mengangkat bahunya acuh. Diam sejenak. Tapi akhirnya menjawab pendek pertanyaan Luna.
"Selera baru, huh? Lo gak ngeracunin otak Tante Lia supaya Arka cepet putus sama cewek itu?" tanya Luna sinis.
"Mama kenal baik sama dia. Informasi miring gue gak bakal dibutuhin. Kecuali cewek itu punya catatan kriminal sebelumnya."
"Lo gak berniat nyelidikin itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
A.M
ChickLitMia tak punya alasan lain untuk mencintai Arka. Sejak ditemukan Arka dalam keadaan menggenaskan lima belas tahun lalu, hati Mia seolah tertambat pada Arka seorang. Pahlawan kecilnya, yang mengulurkan tangan di saat ia ketakutan, menberinya sepoton...