Pintu pagar terbuka lebar, Arka buru-buru memakirkan mobil ke garasi. Cepat membuka bagasi, mengeluarkan belanjaan sementara Mamanya sudah meloyor masuk rumah. Berbalik sebentar saat di depan pintu.
"Belanjaannya dimasukin ke dalam, Ka. Taruh di atas meja makan aja. Yang rapi naruhnya. Itu telor jangan main banting aja, dan jangan main kabur sesudah itu. Ingat, katanya mau ngantar makan siang buat Mia hari ini." Ujar Dahlia mengingatkan. Arka mengerjakan semua yang diperintahkan Mamanya sambil bersungut-sungut kesal.
Selesai memindahkan semua belanjaan ke dalam rumah, Arka menutup pagar. Menyisakan pintu kecilnya saja yang terbuka. Sebuah mobil berhenti di depan. Membuat Arka berhenti sejenak dari kegiatan menarik pagar besi tersebut. Memperhatikan seorang lelaki paruh baya, mungkin seumuran Mamanya, turun dari mobil. Lalu sibuk mengamati rumahnya.
"Ehm.." Dehem Arka kuat-kuat. Orang itu menolehkan kepalanya ke Arka. Balik mengamati. "Ada perlu apa ya, pak? Mencari seseorang?" tanya Arka berusaha sopan.
"Saya mau bertemu Adis, dia mengekos disini bukan?" Laki-laki itu menjawab.
"Adis?" ulang Arka. Berusaha mengingat. "Kamarnya nomor berapa?"
"Nomor kamar ya? saya tidak—ehm, kamu kenal Adis? Maksud saya Giri Adisty."
Demi mendengar nama sang pujaan hati disebut, mata Arka melotot lebar. "Oh Riri. Kenal. Bapak siapanya?" gembiranya hanya sebentar. Berganti dengan pertanyaan penuh selidik.
"Saya ayahnya. Bisa kamu panggilkan?"
"Ayah Riri—Giri maksudnya?" tanya Arka tak percaya. Membodohi sikap tidak hormatnya tadi. "Ah tentu. Sebentar ya pak—eh om, saya panggilkan dulu."
Kaki Arka melangkah cepat. Melewati dua anak tangga sekaligus. Sampai di depan pintu, diketoknya kuat-kuat. Ia hapal semua jadwal kuliah dan praktikum Giri, dan hari ini gadis itu masuk siang. Jadi saat ini pasti ia sedang di dalam. Terbukti dari suara music yang terdengar samar-samar dari dalam.
Pintu kamar terbuka. Sebuah kepala menongol, Arka terpana.
"Kak Arka?" ujar Giri setengah berteriak. Kaget karena Arka muncul di depan pintunya. Terlebih saat ini hanya mengenakan kaos gombrong dan berambut kusut. Belum mandi. "Kak ngapain disini?"
"Kamu belum mandi?" Arka salah fokus. Muka Giri memerah sempurna. Malu. "Cantik ya. Gak kayak Mia. Peta dimana-mana."
Air muka Giri semakin memerah. "'Eh—anu kakak ngapain disini?"
"Aku disini?" Arka masih lupa diri. "Bangunin putri tidur. Eh—gak bukan. Itu di bawah ada yang nyariin." Jawabnya gelagapan.
"Nyariin aku?" Kening Giri berkerut. "Siapa?"
"Katanya Ayah kamu. Minta kamu segera ke bawah."
Giri terkesiap. Gelagapan bertanya lagi. "Ayahku? Di bawah? Aduh gimana ini." Panik, pintu kamar ditutup begitu saja. Tepat di depan muka Arka yang melongo. Selang berapa detik pintu dibuka kembali. "Maaf, kak, gak sengaja ketutup. Makasih, bentar lagi aku turun." Pintu ditutup lagi.
Menghela nafas panjang, Arka balik badan. Heran mengapa kelakuan Giri jadi aneh begitu saat ia bilang sang ayah mencari. Tapi kalau dipikir-pikir, lucu juga. Bibir Arka tersenyum lebar. Ia sengaja duduk di teras. Diam-diam memperhatikan Ayah Giri yang menyandarkan dirinya di pintu mobil. Menunggu anaknya datang. Sama seperti dirinya. Ia tak sabaran menunggu gadis itu turun. Belum mandi saja sudah secantik itu, apalagi sudah mandi. Mendadak hati Arka ingin memutuskan saluran air ke kamar Giri. Biar kecantikan gadis itu tidak dilirik oleh cowok lain. Teman-teman atau seniornya di kampus.
Sepuluh menit berlalu, langkah kaki Giri terdengar menuruni anak tangga. Arka segera memasang mata lebar-lebar. Wajahnya segar, pasti ia hanya cuci muka. Memangnya ada kaum hawa yang sanggup bersiap-siap dalam waktu sepuluh menit dengan hasil memukau seperti gadis yang dilihatnya seksama ini? sayangnya wajah penuh kekaguman Arka tak direspon Giri. Meliriknya saja tidak. Gadis itu berjalan lurus menghampiri sang Ayah. Arka menyaksikannya dengan rahang terbuka. Gadis itu menyalami ayahnya sebentar, lantas masuk mobil. Mobil berlalu, rahang Arka jatuh!
KAMU SEDANG MEMBACA
A.M
ЧиклитMia tak punya alasan lain untuk mencintai Arka. Sejak ditemukan Arka dalam keadaan menggenaskan lima belas tahun lalu, hati Mia seolah tertambat pada Arka seorang. Pahlawan kecilnya, yang mengulurkan tangan di saat ia ketakutan, menberinya sepoton...