Taksi yang ditumpangi Mia merayap pelan membelah jalanan ibu kota yang padat. Jam pulang kerja. Jalanan penuh dengan kendaraan yang membentuk jalinan ular panjang. Merayap sepanjang jalan protokol. Suara klakson dan berbagai umpatan terdengar bersahut-sahutan. Membentuk orchestra di tengah panjangnya kemacetan jalanan. Berbaur dengan bau keringat kelelahan.
Mia mengusap pelipisnya. Jemarinya bergerak pelan disana. Memijat kepalanya yang tiba-tiba terasa pusing. Andai penerbangan di Incheon tadi tidak di-delay, tentu ia sekarang sudah berada di rumah dengan perut penuh, mandi di bawah guyuran air hangat dan tidur pulas sesudahnya. Tangannya mengusap layar ponsel. Ada dua pesan masuk. Salah satunya Arka yang menanyakan posisinya sekarang. Terpaksa ia menjawab dengan jawaban sebelumnya 'masih kejebak macet' lalu diiringi kalimat maaf karena membuat mereka yang di rumah menunggu lama. Pesan satunya lagi berasal dari editornya di majalah tempat ia bekerja. Mengingatkannya agar segera membuat laporan perjalanan kerjanya selama empat hari di Seoul. Juga seluruh rekapan hasil wawancara dengan para narasumber disana.
Sekitar satu jam kemudian, akhirnya kendaraan biru yang membawanya berhenti tepat di depan rumah berpagar biru. Dibantu supir taksi, Mia mengeluarkan koper dan dua tas kecil. Berisi beberapa cendera mata dan pesanan Mama Dahlia. Matanya menyapu keadaan halaman rumah yang lenggang. Kotras dengan keadaan toko Bakery di sampingnya. Masih dipenuhi oleh para pengunjung dan para karyawan yang berlalu lalang.
"Wah... Ada Mia unnie!" dari arah toko, seorang perempuan dengan seragam karyawan berteriak riang. Mira namanya. Buru-buru menyongsong kedatangan Mia. Cekatan mengambil alih koper dari tangan Mia dan menariknya memasuki halaman rumah.
"Kata Mas Arka, Mbak Mia dari Korea, ya?" tanya Mira sambil membuka pagar. Mia mengangguk yang langsung dibalas gurat kekaguman dari wajah Mira. "Asik banget, Mbak. Aku juga pengen. Kalau dilihat dari drama-drama yang aku nonton, Korea itu keren banget, Mbak. Cowoknya ganteng-ganteng, mukanya bening-bening. Apalagi sekarang lagi musim dingin kan, Mbak? Wah pasti seru banget seluncuran di salju. Untung-untung ketemu Kim Soo Hyun, Song Joong Ki. Huh, aku jadi iri!"
Mia tertawa kecil. Meski ia tidak tahu siapa itu Kim Soo Hyun atau beberapa nama pria korea yang disebut Mira selanjutnya, tetap saja ekspresi mengharap Mira membuatnya tidak bisa menahan tawa. Ia tahu betul bahwa Mia penggemar segala bentuk produk hiburan yang berasal dari negeri Gingseng tersebut. Dari drama-dramanya, grup-grup idol yang berisikan pria-pria cantik yang bernyanyi sambil menggoyang-goyangkan badannya, hingga segala seluk beluk tentang budaya korea. Jangan aneh kalau kalian masuk toko akan langsung disambut Mira dengan ucapan selamat datang ala orang korea. Atau saat ia mengucapkan terima kasih kepada para pembeli di meja kasir.
"Jangan patah semangat gitu dong, Mir. Kalo ada kesempatan juga nanti kamu bisa berkunjung ke negeri idaman kamu itu. Ketemu cowok-cowok idola kamu itu. Oh ya, ini juga aku bawain oleh-oleh untuk kamu. Tapi masih di koper, nanti kalau udah aku bongkar aku kasih ke kamu, ya."
"Yang bener, Mbak?" Demi mendengar ucapan Mia, mata Mira membulat seketika. Mia mengangguk. Melayangkan senyuman kecil. "Wah, padahal aku cuma karyawan toko, bukan siapa-siapa, Mbak. Tapi Mbak baik banget. Suka ngasi aku baju-baju bagus, sekarang ngasi oleh-oleh khusus dari Korea lagi."
"Jangan ngerendahin diri gitu, Mira! Siapa bilang kamu bukan siapa-siapa aku."
Kalimat Mia sukses membuat wajah Mira bersemu penuh keharuan. Dari dulu ia selalu mengidolakan sosok wanita di depannya ini. "Mbak Mia ini, udah cantik, baik lagi, murah hati, gak sombong. Aku pengen jadi kaya Mbak. Padahal nama kita mirip loh. Cuma beda di huruf R-nya doang. Tapi kenapa aku beda banget ya nasibnya sama Mbak Mia?"
"Hush, jangan ngomong gitu, Mir. Emangnya kenapa dengan nasib kamu?" Tangan Mia mengambil alih koper begitu sudah sampai di depan pintu. "Semua orang itu punya jalan masing-masing, Mira. Gak ada yang bisa nilai nasib seseorang itu buruk atau enggak hanya karena tidak sama dengan orang lain. Kita lah yang menentukan akan menjadi apa kita kelak. Jangan sibuk membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Cukup jadi diri sendiri, ngerti?"
KAMU SEDANG MEMBACA
A.M
ChickLitMia tak punya alasan lain untuk mencintai Arka. Sejak ditemukan Arka dalam keadaan menggenaskan lima belas tahun lalu, hati Mia seolah tertambat pada Arka seorang. Pahlawan kecilnya, yang mengulurkan tangan di saat ia ketakutan, menberinya sepoton...