Arka terdiam memandangi lukisannya sendiri. Lima buah lukisan karyanya sudah terbingkai indah dan tergantung rapi di panel. Tampak berkilau disorot lampu halogen. Di sekitarnya, beberapa orang lalu lalang mempersiapkan segala hal untuk pameran besok. Lukisan-lukisan dibingkai. Berbagai nama, baik pemain-pemain lama di dunia lukis maupun pendatang baru siap meramaikan acara tahunan Galeri Ganendra. Bertahun-tahun Arka menyelami kegiatannya sebagai penggiat seni, tak disangka bahwa saat yang dinantikan olehnya akhirnya tiba. Perlahajn kepalanya bergerak. Menelurusi setiap detail ruangan, setiap sudut, setiap lukisan yang tergantung, dan akhirnya kembali lagi pada lima lukisannya.
Seperti yang direncanakan, salah satu dari lukisan Arka yang akan dipamerankan adalah lukisan berisi potret wajah Mia. Melihat lukisan itu tergantung di depannya, Arka tersenyum. Membayangkan bagaimana kira-kira ekspresi Mia jika melihatnya. Sudah pasti saudanya itu akan terharu sampai matanya berkaca-kaca. Dan yang jelas, Mia pasti minta bagian jika lukisannya itu laku. Yah... itu pun kalau laku, pikir Arka. Selain dirinya dan Karla, ia tidak tahu apakah ada yang berminat dengan lukisan itu.
"So here you are. Aku cariin kemana-mana, ternyata disini. Admiring your babies." Sebuah suara memecahkan keheningan yang diciptakan Arka. Refleks Arka menoleh ke sumber suara. Di sampingnya, Karla berdiri dengan muka merah bersimbah keringat. Arka sunguh mengerti betapa panasnya Jakarta, tapi tak pernah paham bagaimana Karla bisa selalu hadir di hadapannya dalam keadaan begitu. Merah dan basah. Ketika semua perempuan mati-matian melindungi tubuhnya dari paparan sinar matahari, Karla malah sebaliknya. Ia lebih memilih berjalan di bawahnya, menganggap bahwa jalanan Jakarta yang padat sama ramahnya seperti perjalan kaki di luar negeri.
"Sendiri, Karl? Naik apa?" tanya Arka basa-basi. Dalam hatinya ia mengutuk betapa seksinya Karla saat ini.
"With my brother. Tapi sampai di traffic light depan aku turun dan jalan kesini sendiri. Kasihan dia harus muter bolak-balik kalau nganterin aku."
"Hah? Abang apaan yang tega ngebiarin adeknya jalan panas-panasan."
"It's ok, Ka. Dia juga harus buru-buru jemput anaknya." Balas Karla enteng. "And it's not far, actually. Tapi mataharinya panas banget." Karla kembali mengibaskan bagian depan kaosnya.
"Beruntung banget punya adik kayak kamu. Kalau aku nganterin Mia, jangan harap bisa diturunin di jalan. Harus tepat diantar sampe tujuan. Cerewet." Arka nyengir, tiba-tiba saja membandingkan Mia yang rempong minta diantar sana-sini dengan Karla yang seperti adik idaman tidak mau merepotkan abangnya. Belum lagi kalau Mia mengajaknya ke pusat perbelanjaan, bisa dipastikan seharian Arka hanya bisa menurut kemana langkah kaki Mia membawanya.
"Ralat. Yang beruntung itu punya kakak seperti kamu. Perhatian banget sama adiknya. Diantar sampe tujuan."
"Ralat lagi. Aku yang adik, sebenarnya." Beritahu Arka. Tertawa melihat ekspresi kaget di muka Karla.
"Kalau itu sih emang udah kodratnya adik nurutin apa perintah yang tua." Cibir Karla. "Kalau Rey, jangan harap deh. Ini aja masih untung mau numpangin."
"Rey?"
"Yup... abangku. Kenal?"
Arka menggaruk lehernya. "Nggak. Cuma namanya mirip sama orang yang aku kenal. Cuma kenal, bukan teman." Tegas Arka saat Karla hendak bertanya 'temen kamu?'
"Oh." Balas Karla singkat. Tak lama kemudian, fokusnya terarah sempurna pada deretan lukisan Arka di depannya. Seperti biasa, Karla menelaah lukisan demi lukisan dengan teliti.
"Gimana menurut kamu?" tanya Arka meminta pendapat Karla yang tengah menekuni lukisannya. Pertanyaan yang tak perlu ditanya sebenarnya. Faktanya, kelima koleksi lukisannya itu sudah melewati seleksi ketat Karla yang menjadi tutor dadakan Arka. "Kalau boleh tahu, lukisan mana yang paling kamu suka?"
![](https://img.wattpad.com/cover/59790162-288-k881824.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
A.M
ChickLitMia tak punya alasan lain untuk mencintai Arka. Sejak ditemukan Arka dalam keadaan menggenaskan lima belas tahun lalu, hati Mia seolah tertambat pada Arka seorang. Pahlawan kecilnya, yang mengulurkan tangan di saat ia ketakutan, menberinya sepoton...