Irresistible

3K 288 31
                                    


Arka memandang wajah pucat itu penuh kecemasan. Meski sudah minum obat yang diresepkan dokter, suhu tubuh gadis yang terbaring lemah di depannya itu tetap tinggi. Tangannya cekatan mengganti kain kompresan. Meletakkannya di kening sang gadis yang tersenyum lemah.

"Maaf ya, kak. Gara-gara aku kakak jadi kerepotan." Ujarnya lirih. Pelan sekali hingga Arka harus mendekatkan telinganya ke bibir Giri.

"Aku gak kerepotan kok." Balas Arka meyakinkan. Ditariknya selimut tebal yang sedikit merosot. "Panas kamu belum turun-turun juga. Gak apa aku tinggalin?" tanya Arka cemas.

Kepala Giri digeleng lemah. "Aku baik-baik saja."

"Jangan lupa dimakan buburnya, ya?" pesan Arka sebelum keluar kamar Giri. Dibalas dengan anggukan lemah dari Giri. Untung saja akhir pekan penghuni kos banyak yang pulang ke rumah masing-masing. Sehingga ia tidak terlihat mencurigakan keluar dari salah satu kamar. Meskipun ia putra dari pemilik Ibu kos ,tetap saja statusnya laki-laki, dan di bagian depan kosan tertulis besar-besar; "Laki-laki dilarang masuk." Ia sendiri yang menempelkan. Meski dalam kasus tertentu ia sering masuk. Mengganti lampu, atau membetulkan keran air. Dan menurut Arka, sekarang ini juga kasus tertentu. Kasus yang melibatkan keselamatan nyawa gadis incarannya yang sekarang terbaring sakit.

Arka sedang berada di galeri bang Enda saat sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Dari nomor Giri. Ia berlonjak senang sekali. Akhirnya untuk pertama kalinya, gadis itulah yang mulai menghubunginya. Namun saat benda pipih itu menempel di telinganya, bukan suara Giri yang terdengar. Melainkan suara salah satu temannya. Berkata panik kalau Giri terserang demam tinggi, dan tanpa diminta Arka segera meluncur ke alamat yang disebutkan temannya itu.

"Nomor kakak sering muncul di panggilan masuk Giri, jadi aku kira kakak temen dekat atau pacarnya." Kata temannya saat Arka tiba. "Giri mulai gak enak badan sejak di perpus, dan akhirnya jatuh sakit pas nyampe rumahku. Berhubung aku mau nyusul orangtuaku di luar kota, jadi aku bingung harus nitipin Giri sama siapa atau siapa aja deh yang bisa ngantar dia ke kosannya. Pembantu di rumah sednag cuti dan aku lagi buru-buru soalnya."

Arka mengangguk mahfum. Bilang kalau perempuan yang berbicara panik di depannya itu memilih orang yang tepat. Lantas tanpa membuang waktu ia segera memanggil taksi. Mengangkat tubuh panas Giri ke rumah sakit terdekat. Dokter bilang ia hanya demam biasa. Efek pergantian cuaca. Namun Arka tetap saja panik. Ia tidak peduli lagi akan motornya yang ditinggal di halaman rumah temannya Giri. Taksi yang ditumpanginya segera meluncur menuju rumahnya. Dan segera membopong tubuh lemah itu ke kamarnya. Memastikannya makan yang cukup, minum obat dan istirahat sesudahnya. Arka tersenyum geli mengingat betapa panik dirinya saat itu. Ia menganggap itu efek jatuh cinta. Sepanjang karirnya menjalin hubungan dengan banyak wanita, ia tidak pernah merasa sepanik ini. Hanya dua orang yang selalu membuatnya panik jika mereka sakit. Mamanya dan Mia. Meski hanya flu ringan Arka pasti heboh sendiri. Sibuk menyuruh dua wanita kesayangannya itu istirahat, tidak boleh menyentuh pekerjaan sedikitpun.

Menyebut nama Mia, sontak membuat Arka tersadar akan satu hal. Apakah ia sudah sampai di rumah atau masih menunggunya di depan kios. Dia sudah mengirimkan pesan sejak tadi. Bilang kalau punya urusan mendadak. Mendadak mengurusi calon pacar yang sakit maksudnya.

Begitu sampai di dalam rumah, Mama langsung menyambut kedatangannya dengan wajah panik.

"Ka, Mia kok belum pulang juga ya. Mama khawatir sekali. Mana hujannya deras lagi. aduh kalau ada apa-apa sama dia gimana. Kamu juga gimana sih, masa tega sekali biarin Mia pulang sendiri, kamu tahu sendiri gimana paniknya Mia kalau hujan. Ini malah ngurusin pacar. Mia... kenapa telfonnya gak diangkat sih."

Dahlia kembali sibuk menekan nomor Mia. Panggilan tersambung, namun tak kunjung diangkat. Dari tadi selalu begitu. Wajahnya pias. Penuh kekhawatiran.

A.MTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang