Di balik layar komputer yang berdenging pelan, Mia mengusap wajahnya entah untuk yang kesekian kalinya. Digelengkan kepalanya ke kanan kiri, berusaha mengusir ngantuk yang tak kenal ampun menyerangnya sejak tadi. Andai tak ada setumpuk kerjaan yang harus diselesaikannya malam ini, tentu saat ini ia sudah bergelung di bawah selimut. Bukannya bergelut dengan kerjaan yang untungnya semakin berkurang. Wajar saja berkurang, pikir Mia muram. Sekarang hampir empat jam berlalu sejak jam pulang kantor berakhir. Meski tadi beberapa temannya turut lembur menuntaskan pekerjaan, kini ia sempurna sendirian.
Menyesap kopi yang sudah dingin, Mia berusaha membesarkan hatinya. Sedikit lagi. Sedikit lagi semuanya selesai dan itu tandanya ia bisa menikmati long weekend dengan tenang. Tanpa ada pikiran akan kerjaan yang belum tuntas. Memang diperlukan pengorbanan demi sebuah kebahagiaan. Dan kebahagiaan versi Mia saat ini tak lebih dari masakan enak nan menggugah selera dan kasur yang empuk.
Di saat tengah fokus pada barisan kalimat di layar komputernya, Mia tersentak saat terdengar suara pintu dibuka diiringi langkah kaki yang semakin mendekat. Mungkin rekan kerjanya yang ketinggalan sesuatu. Mengabaikan langkah kaki tadi, Mia fokus menyelesaikan sisa kerjaannya yang sedikit lagi selesai. Usai mengklik tombol save, Mia mendesahkan nafas lega.
"Belum pulang?" sebuah suara berat bertanya tiba-tiba di tengah keasikannya meregangkan otot.
Mia cepat menoleh ke samping. Reynald sedang berdiri di sampingnya. Setelan pria itu tak serapi biasanya. Jas yang biasa membalut tubuhnya sudah dilepaskan. Menggantung di lengan kanannya yang memegang tas jinjing. Lengan bajunya digulung hingga siku. Entah mengapa Mia menganggap penampilannya lebih manusiawi.
"Ada kerjaan yang perlu diselesaikan, Pak." jawab Mia setelah hening beberapa saat. "Ehm, bapak kenapa disini?"
"Setahu saya ini kantor tempat saya bekerja. Apa salah saya berada disini?" Reynald bertanya balik. Sebelah alisnya naik begitu melihat perempuan di depannya tersenyum canggung.
"Maksud saya, kenapa bapak belum pulang? Bukannya bapak udah pulang duluan ya?"
"Ada sesuatu yang ketinggalan." jawab Reynald. Matanya memandang sekeliling ruangan yang sepi, lantas berjalan berjalan menuju ruangannya di lantai atas. Di anak tangga pertama, ia berbalik sebentar.
"Kenapa pak?" Tanya Mia lagi saat sadar pandangan Reynald tertuju padanya.
"Jangan pulang terlalu malam " ujar Rey mengingatkan. "kalau tidak bisa diselesaikan malam ini jangan dipaksakan. Masih ada besok atau kamu bisa melanjutkan di rumah."
Mia membalasnya dengan senyuman kecil. "Gak apa, pak. Saya udah biasa gini kok. Mending nyelesain disini, kalau udah di kosan bawaannya malas."
"Memang tidak masalah untuk kamu. Tapi setahu saya, semakin malam otak manusia tidak mampu bekerja maksimal lagi, apalagi kamu sudah lelah kerja seharian ini."
Mia menggeleng mantap. Hendak membantah lagi, namun suara Reynald kembali mengudara.
"Deadlinenya bisa saya mundurkan hingga besok siang. Lebih baik kamu pulang, istirahat, daripada saya harus menerima hasil kerja tidak memuaskan akibat otak lelah kamu yang dipaksa bekerja." Lanjut Reynald yang awalnya sempat membuat Mia tersanjung namun berakhir kekesalan pada ujungnya.
"Bapak ngeremehin saya?" Dagunya terangkat ke atas. "Tenang aja, Pak. Saya masih sanggup ngerjain setumpuk kerjaan lagi sampe pagi dan saya jamin hasilnya memuaskan." Ujarnya mantap.
Nafas dihela panjang, "Saya suka semangat kerja kamu. Tapi ingat satu hal, nak, jangan memaksakan diri." Reynald berkata tanpa beban. Nada suaranya kombinasi antara rasa prihatin dan meremehkan. Namun kombinasi terakhir lebih terdengar jelas di telinga Mia.

KAMU SEDANG MEMBACA
A.M
ChickLitMia tak punya alasan lain untuk mencintai Arka. Sejak ditemukan Arka dalam keadaan menggenaskan lima belas tahun lalu, hati Mia seolah tertambat pada Arka seorang. Pahlawan kecilnya, yang mengulurkan tangan di saat ia ketakutan, menberinya sepoton...