Arka tidak bisa memfokuskan pikirannya sejak tadi. Sejak sejam yang lalu, ponselnya tak berhenti berdering. Itu pasti dari Mamanya yang tak sabar untuk segera dijemput di supermarket. Sekarang benda pipih itu tergeletak tak berdaya di atas meja yang penuh coretan cat minyak. Dalam hatinya, Arka berharap Mamanya memutuskan untuk pulang naik taksi saja, alih-alih mengharapkan dirinya yang tak pasti kapan datang. karena sekarang, Arka sedang mati-matian sedang memfokuskan pikirannya pada setiap ucapan yang keluar dari lawan bicaranya. Siapa kira, setelah marah-marah karena kurator yang rencananya akan melihat koleksi lukisannya datang terlambat—hingga membuat ibunya terlantar—sekarang segala kemarahannya menguap seketika. Dalam bayangannya, seorang pria lanjut usia dengan perut buncit lah yang akan mendatanginya. Namun sekarang, lihatlah sosok manusia di depannya ini. Tak ada lemak bergelambir di perutnya, juga tak ada rambut-rambut keriting di sekitar wajahnya. Semua bayangannya amblas dan menjelma jadi sosok wanita cantik. Cantik sekali. Sejak tadi ia tak henti-hentinya bergumam betapa panasnya Jakarta dan menarik-narik tanktopnya seolah dengan begitu es di antartika langsung pindah ke Jakarta.
"Terakhir saya ke Jakarta sekitar tiga tahun yang lalu. Tahun berapa itu? 2014? 2013?" si pemilik wajah cantik itu tertawa. Akhirnya tangannya berhenti mengibas-ngibas kan bagian depan tanktopnya di depan Arka. Gantian menjulurkan tangan kanannya. "Oh iya, sampai lupa memperkenalkan diri. Saya Karla."
Arka menerima jabatan tangan itu dengan khidmat. "Arka. Nice to meet you, Karla." Ujar Arka dengan senyum terbaiknya. Sengaja lama melepaskan jabatan tangan mereka.
"So, ini koleksi kamu?" tanya Karla setelah jabatan tangan mereka terurai. Sekarang ia memandang sekeliling. Di Galeri ini, Arka punya satu ruangan khusus untuk melukis dan menyimpan koleksinya. Dan sekarang, seluruh lukisannya itu ditelaah satu persatu oleh Karla. Awalnya Arka tak percaya kalau ialah kurator dari Ganendra Galeri yang dikatakan Bang Enda. Perempuan secantik ini? semuda ini? Namun melihat ekspresi serius Karla sekarang, yang menekuni lukisannya seolah sedang menelanjanginya satu persatu, Arka hanya diam sambil menelan ludahnya susah payah. Alasan pertama karena ia ikut deg-degan menunggu komentar dari bibir seksi itu. Komentar yang menjadi penentu apakah lukisannya layak masuk pameran nanti. Kedua, Karla itu bukan hanya cantik, tapi seksi sekali. Sekarang ia hanya mengenakan tanktop tipis dan celana boyfriend yang sobeknya sampai ke paha. Dari sela-sela sobekan itu Arka sudah bisa membayangkan betapa mulusnya paha itu. Belum lagi saat bibir seksi itu berbicara, keningnya berkerut-kerut mengamati lukisannya, dan entah bagaimana ia masih berkeringat meski ac sudah disetel dingin—membuat Arka berharap AC mati rusak tiba-tiba—adalah alasan mutlak mengapa Arka semakin sulit berpikir jernih.
"Kamu sudah pernah pameran?" tanya Karla pada Arka. Kini ia sudah bisa membagi fokusnya pada lukisan dan si pelukis.
Arka ragu-ragu untuk menjawab. "Pameran yang gimana dulu? Kalau semasa kuliah sih sering ikutan pameran, tapi tarafnya masih kecil-kecilan. Paling seputar kampus, atau sesama teman seniman. Itu bisa disebut pameran?"
Karla tertawa kecil. "That's mean, lukisan kamu sudah cukup banyak dikenal orang kan?"
"Beberapa orang." Koreksi Arka.
"Oke beberapa orang." Karla bergumam. "Dan dari beberapa orang itu salah satunya adalah Om Dimas. Itu artinya, beberapa akan berubah menjadi semua."
Nafas Arka serasa tercekat mendengar ucapan Karla. Siapa yang tidak kenal Om Dimas yang dimaksudnya. Pria itu lah yang seminggu lalu ditemui Arka sedang menekuni lukisasannya dengan serius dan berakhir dengan sebuah tawaran yang membuatnya menyengir sepanjang hari. Siapa sangka, lukisannya bisa dilirik oleh pemilik salah satu galeri seni terbesar di ibukota. Dan siapa sangka juga, sekarang ia sedang berhadapan dengan seorang kurator cantik yang Arka yakin adalah salah satu orang penting dari galeri tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
A.M
ChickLitMia tak punya alasan lain untuk mencintai Arka. Sejak ditemukan Arka dalam keadaan menggenaskan lima belas tahun lalu, hati Mia seolah tertambat pada Arka seorang. Pahlawan kecilnya, yang mengulurkan tangan di saat ia ketakutan, menberinya sepoton...