Ketika Ia Berubah

3.5K 309 51
                                    

Mia berubah. Itu hal yang Arka sadari akhir-akhir ini. Perempuan itu selalu menghindar setiap Arka ingin menemuinya, tidak pulang saat weekend lalu, tidak membalas pesannya, dan mendadak bungkam seribu bahasa. Tak lagi mau ikut campur urusan Arka seperti yang ia lakukan selama ini. Dua hari yang lalu Arka kena razia akibat ngebut di jalan. Menabrak pembatas jalan. Mia orang pertama yang dihubungi Arka. Biasanya, Mia akan rela berdebat dengan pak polisi demi membela nama baiknya, meski ia salah sekali pun. Namun kali ini gadis itu hanya diam. Mengangguk mahfum, mengakui kesalahan Arka, lantas pulang naik taksi tanpa berkata lanjut padanya. Padahal Arka sudah meringis pilu karena kaki dan tangannya terluka.

Mia berubah, dan Arka tidak senang akan hal itu. Saat diajak berbicara serius, Mia hanya menjawab pendek. Sibuk kerja katanya. Arka mendecih keras. Ia tahu bukan itu alasannya. Mia sedang ada masalah. Ia yakini itu, tanpa sedikit pun tahu bahwa ia lah sumber masalahnya.

Di sabtu sore yang dingin, Arka duduk sendirian di Kafe Om Leo. Ia tidak menampilkan live music hari ini. Hanya duduk diam di sudut ruangan. Kopi hitamnya sudah dingin. Ia kesal sekali hari ini. Niat hati ingin berduaan dengan Giri, kekasih barunya, ternyata gadis itu malah sibuk mengerjakan tugas kuliah di perpustakaan. Pernah sekali ia sok peduli menemani Giri menyusun laporan. Ujung-ujungnya hanya bisa memberengutkan wajahnya sepanjang hari. Kekasihnya lebih peduli pada tumpukan buku tebal dan istilah-istilah kedokteran yang tak ia mengerti sama sekali. Arka mendadak cemburu pada tumpukan buku dan akhirnya tak tau malu tidur di perpustakaan.

Pintu Leora café berdenting pelan, pintu terbuka. Sepasang suami istri masuk. Mata sang suami memicing ke sudut ruangan dan mendapati seorang pemuda merana dengan bibir terjebik sambil menatap ponselnya hampa.

"Arka curut! Disini juga lo. Merana banget itu muka. Ha ha. Apa kabar bro?" Gelak tawa suara pria memecahkan suasana Kafe yang syahdu. Pria itu, Stefan, berjalan cepat menuju Arka yang langsung sumringah menyambut kedatangannya. Luna mengomel di belakang. Kecurigaannya akan hubungan rahasia antara suami dan sahabatnya kembali muncul.

"Papa Epan!" teriak Arka tak mau kalah. Berdiri menyambut kehadiran sahabatnya. Ber-high five penuh semangat. Sibuk adu kekuatan yang ujung-ujungnya malah jadi pertunjukan badut dadakan di tengah kafe yang bernuansa syahdu.

"Tumben banget nih calon papah muda punya kesempatan keluar? Mama Una bawel kemana? Tumben gak ngekorin? Gue kok mencium aroma-aroma tidak beres ya." Arka menyerocos panjang lebar, sementara mata Stefan dari tadi melotor-lotot tidak jelas. Sibuk memberi peringatan ke arah belakang Arka. "Bro, lo gak tekanan batin kan nikah sama Luna?" lanjut Arka sok peduli. Stefan semakin gencar melototkan matanya.

Ditepuknya bahu Stefan penuh pengertian. "Gue mengerti lo, Pan. Gue ngerti betapa sedihnya saat kebebasan terkekang. Dan sebagai sahabat sejati gue bakalan stand by you." Ujar Arka sok bule.

"Tekanan batin apa, Arkancut?"

Arka melonjak kaget dari kursinya. Mengerti maksud pelototan Stefan tadi. Dengan gerakan kaku, digerakkan badannya menoleh ke belakang. Luna berdiri di belakangnya dengan kedua kedua tangan terlipat di depan dada. Matanya memicing tajam menatap Arka yang mendadak hanya bisa menyegir kaku.

"Ampun Mamah! Ampun! Jangan marahi babang Arka." Ujar Arka manja. Menampilkan wajah memelas, Luna memutar bola matanya kesal. Mengambil duduk di sebelah suaminya. Tanpa jeda langsung mengambil gelas kopi Arka. Menyeruputnya hingga abis.

"Sayang...!" Stefan setengah berteriak, menarik gelas kopi di tangan istrinya yang sudah kosong melompong. "Bukannya kamu gak suka kopi pahit?"

Luna mengangkat bahunya cuek. "Lebih pahitan muka kamu. Tau gak?" sembur Luna dengan wajah kalem. Stefan meringis pilu, Arka terbahak-bahak melihatnya.

A.MTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang