Azan isya tepat berkumandang ketika Arka tiba di rumah. Masih dengan helm di kepala, kakinya melangkah gontai memasuki rumah. Di dalam, Mamanya sedang menonton televisi. Menoleh sekilas pada Arka yang bersiap naik ke kamarnya.
"Udah makan, Ka?" Tanya Dahlia. Mengalihkan perhatiannya sejenak dari layar televisi.
Langkah Arka terhenti. Menghela napas pelan, tatapannya beralih pada sang ibu. Mamanya memang tak pernah menunggunya yang tak jelas kapan akan pulang hanya untuk menghabiskan waktu makan malam berasama. Namun yang pasti, Mamanya akan menyiapkan makanan untuknya. Maka Arka tak punya jawaban lain selain menggeleng, walau perutnya sudah berteriak kepenuhan.
"Kamu kenapa sih. Lesu banget mukanya." Tanya Dahlia sambil menyaksikan Arka makan. Yang ditanya cuma tertawa kecil. Memilih untuk menghabiskan makanan di mulutnya sebelum berkata.
"Gak kenapa-kenapa, Ma." Jawab Arka singkat. Kembali menyuapkan suapan selanjutnya. Enak. Masakan Mamanya memang selalu enak. Saraf di lidahnya langsung memberi perintah pada perutnya untuk memberi sisa ruang yang lebih banyak.
Dahlia berdecak. Lama ditatapnya wajah anak lelakinya itu. "Tadi ada yang ngantar undangan. Anaknya Pak Reno mau nikah." Beritahu Dahlia semangat. "Dimana ya Mama taruh undangannya. Di atas kulkas kalau gak salah." Berdiri, Dahlia segera meraih undangan yang dimaksudnya. "Nih dia... gak nyangka banget akhirnya nikah juga. Padahal udah 30an loh, Ka. Perempuan kan umur segitu udah telat banget."
"Ma..." Arka menyela. Cepat meneguk air. "Jangan suka ngomongin orang. Sekedar mengingatkan, Mama juga punya anak perempuan."
"Dan anak laki-laki yang belum jelas kapan mau ngasih mama cucu." Sambung Dahlia. Balas menyindir.
"Aku belum mau nikah." Ucap Arka cepat.
"Belum mau nikah tapi gonta-ganti cewek mulu. Pacaran-putus mulu. Sekedar mengingatkan, kamu punya saudara perempuan, Ka."
Arka menghela napas. Lupa betapa vokalnya Mamanya itu kalau sudah urusan berdebat.
"Kalau itu urusan aku, Ma. Ada yang macem-macem sama Mia, nih bogeman melayang." Arka mengepalkan tinjunya di udara.
"Alah... jangan sok gitu, Ka. Kebayang kalau semua cewek yang kamu pacarin punya saudara kayak kamu. Bisa-bisa ini muka gak kebentuk lagi."
"Mama kok seneng banget sih nyudutin aku?"
"Anggap aja itu motivasi dari Mama buat kamu."
"Terus aja, Ma, terus. Aku memang gak berarti apa-apa bagi Mama." Arka merengut. Memasukkan suapan terakhir sebelum piringnya licin.
"Ngomong-ngomong, Mia sama Rey beneran pacaran ya, Ka?" Tanya Dahlia tiba-tiba.
"Mungkin." Balas Arka cuek.
"Emang Mia gak ada cerita ke kamu?"
"Nggak."
"Coba kamu tanya-tanya gih. Kalau sepenglihatan Mama sih iya. Mustahil banget ada boss yang mau repot-repot antar pulang anak buahnya tanpa ada maksud."
"Mama tahu kan status si Reyot itu?" Tanya Arka tiba-tiba.
"Duda maksud kamu?"
"Ya. Dan Mama rela anak perempuan mama satu-satunya pacaran sama duda?" Arka mengusap wajahnya. Terlihat tak suka dengan topik pembicaraan saat ini.
"Rey baik, ramah, dan dia sepertinya benar-benar serius sama Mia. Mau dia duda atau gak, Mama gak masalah." Kata Dahlia tenang.
"Ma, usia mereka itu beda jauh. Mia masih muda, cantik..."

KAMU SEDANG MEMBACA
A.M
ChickLitMia tak punya alasan lain untuk mencintai Arka. Sejak ditemukan Arka dalam keadaan menggenaskan lima belas tahun lalu, hati Mia seolah tertambat pada Arka seorang. Pahlawan kecilnya, yang mengulurkan tangan di saat ia ketakutan, menberinya sepoton...