Modus Berakhir Pupus

3.5K 243 30
                                    

Sepanjang eksistensinya hidup di dunia hingga berakhir sebagai bujang seperempat abad yang masih tinggal bersama Mamanya tanpa pekerjaan yang menjanjikan - begitu kata orang-orang - Arka tak menganggap dirinya senista yang orang-orang lihat dan pikirkan. Di antara orang-orang itu, termasuklah Mama tercintanya, yang setiap hari tak pernah berhenti mengomel, berceramah ini-itu, sejak ia membuka matanya hingga tertutup kembali. Bahkan omelan Mama masih terngiang hingga Arka terlelap. Merasuki alam tidurnya dan membuat Arka terengah-engah di tengah malam. Memimpikan seorang penyihir tua jahat yang mengacungkan tongkat sihirnya seraya berkata, 'terkutuklah kau pemuda pemalas. Hidupmu akan dipenuhi penyesalan seumur hidup jika terus menghabiskan waktumu dengan hal tak berguna. Bangunlah pemuda, tongkat sihir ini akan mengutukmu menjadi buruk rupa jika kau masih berleha-leha!' Dan puff! Dalam mimpi itu Arka seketika bertransformasi menjadi si buruk rupa, berpakaian rombeng, dan berbau menyegat seperti got penuh sampah. Sayangnya, dalam mimpi itu tak ada seorang wanita cantik yang rela mencintainya. Jadilah ia si buruk rupa dan miskin sepanjang malam, dan begitu terbangun ia langsung loncat melihat cermin. Memastikan wajah kebanggannya masih sama. Masih tampan, dan tentunya rambut kebanggannya masih sama tanpa kurang sesenti pun.

Seperti yang didiskreditkan orang-orang, bahwa seseorang berambut gondrong dan bertampang urak-urakan sepertinya adalah visual dari seorang seniman, Arka mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi. Seniman - itu kata tepat untuk menggambarkan dirinya. Arka tidak tahu sejak kapan tepatnya ia mulai tertarik pada dunia seni, mungkin keturunan dari Papanya. Meski Papanya, yang berprofesi sebagai sebagai polisi tidak serta merta menggantungkan kecintaanya terhadap seni sebagai penghasilan utama. Bagi Papanya, seni cukuplah dijadikan sampingan. Dijadikan hobby dari kelelahannya dari dunia kepolisian.

Saat ia masih kecil, Papanya akan membawanya berkeliling kota di akhir pekan. Dari menghadiri pameran lukisan dari sang maestro terkenal, hingga berkunjung ke sudut-sudut kota, menyusuri trotoar dimana tempat para pelukis dan seniman jalanan mengekspresikan imajinasi mereka. Pemandangan yang hanya bisa membuat Arka kecil ternganga takjub. Sejak itu, Arka jatuh cinta pada dunia melukis.

Sama halnya dengan ketertarikan Arka pada seni lukis, Papanya juga punya andil akan kecintaan Arka pada musik. Papanya lah yang pertama kali mengajarkan Arka memetik gitar, mendengarkan Arka lagu-lagu favoritnya, dan mengatakan bahwa dirinya punya grup musik saat muda. Arka lagi-lagi takjub saat mendengar rekaman lagu Papanya, meski kualitasnya tidak sebagus sekarang, tapi tetap saja, rekaman lagu itu membuat Arka dipenuhi semangat yang menggebu-gebu, bahwa kelak, ia ingin menjadi seperti Papanya.

Sayangnya, Arka hanya menelan mentah-mentah dan meniru Papanya di dalam hal seni, bukannya meniru kegigihan Papanya dalam bekerja dan menjadi perwira polisi yang disegani. Maka sekarang, jadilah Arka si pemalas, yang mengaku dirinya seorang seniman, tanpa pekerjaan menjanjikan di usianya yang sudah seperempat abad. Hal yang lagi-lagi disangkal kuat-kuat oleh Arka. Jika definisi pengangguran itu adalah seseorang yang tidak punya pekerjaan - pekerjaan dalam artian yang diharapkan Mamanya - maka Arka mengaku dirinya kalah. Namun nyatanya, profesinya sebagai seniman amatir tidak serta merta membikin Arka senista yang dipikirkan Mamanya. Ia punya penghasilan dari hasil manggung di kafe, menjual lukisannya, hingga mengerjakan tugas-tugas sketsa mahasiswa kuliahan yang malas - sama seperti ia dulu.

Tapi tetap saja, bagi Mamanya yang setiap hari bertemu teman-teman arisan yang selalu berlomba-lomba membanggakan anaknya, dari yang berprofesi sebagai hakim, dokter, dosen, bekerja di perusahaan terkenal, hingga punya usaha sendiri, Arka tetaplah dipandang pengangguran nista oleh Mamanya. Untungnya ada Mia, anak perempuan yang dibangga-banggakan Mama. Sementara dirinya? Ya siap saja menulikan telinga setiap pagi. Toh, mau seganas apapun Mamanya berteriak, Arka tetap pada prinsipnya. Seni yang mengalir di tubuhnya adalah warisan berharga dari sang Papa tercinta. Sebuah panggilan jiwa dan wadah untuk ia mengekspresikan imajinasinya. Harga mati, begitu Arka menutup setiap pidato panjangnya.

A.MTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang