Pukul sebelas malam, Luna tersentak dari tidurnya begitu mendengar bel rumahnya berbunyi. Matanya menyipit. Melirik ke samping, kosong. Stefan memang sedang tugas keluar kota. Dan kalau pun pulang malam, Stefan tak mungkin membangunkan Luna tengah malam begini. Ia selalu membawa kunci cadangan, lalu berjalan hati-hati agar tak membangunkan istrinya yang terlelap.
Luna menajamkan pendengarannya. Bel berbunyi sekali lagi. Dengan mata berat, Luna bergegas keluar kamar. Siapa yang tega bertamu tengah malam begini. Sejak kepindahannya sebulan yang lalu, hanya beberapa orang yang tahu. Dan tamu dadakan di tengah malam begini, lengkap dengan kondisi ia sedang ditinggal pergi suami, kewaspadaan Luna meningkat tajam. Ia mengintip sekilas dari tirai. Nihil. Tak terlihat siapa pun di luar sana. Kepalanya melongok untuk mengintip lebih jelas. Masih nihil. Tak terlihat apapun.
Untungnya bertepatan dengan rasa penasaran dan waspada Luna yang saling berkejaran, seseorang di balik pintu bersuara.
"Luna, ini Mia. Buka pintunya, please!"
"Mia?" Luna terperanjat. Segera ia membuka pintu. "Mia? lo ngapain? tengah malam gini?"
Mia maju selangkah. Wajahnya kusut. Sekusut suaranya saat berkata, "Stefan lagi keluar kota kan? gue boleh nginep disini?"
Belum sempat Luna menyahut, Mia sudah menyelonong masuk. Luna cepat-cepat mengunci pintu. Begitu berbalik, sahabatnya itu sudah bersandar di sofa. Mata Luna memang masih berat efek terjaga tiba-tiba, namun ia bisa menangkap jelas aura keresahan di muka Mia.
"Lo kenapa?" tanya Luna akhirnya. Ikut duduk di samping Mia.
Mia menoleh ke samping. Luna tengah memicingkan matanya curiga. "Berapa lama Stefan pergi? Dia setega itu ninggalin istrinya yang lagi hamil?"
"Dan lo bertamu tengah malam gini?" balas Luna, "Sekarang cerita ke gue, apa yang bikin lo malam-malam datangin gue."
"Emangnya salah gue bertamu ke rumah sahabat sendiri?"
"Emangnya normal bertamu jam segini? Jangan banyak basa-basi deh. Gue tahu, kalau tampang lo kecut kayak gini, tiba-tiba datengin gue, pasti ada masalah. So, masalah apa?"
Bukannya menjawab, Mia malah menunduk. Membenamkan kepalanya ke pangkuan. "Gue lagi dalam masalah besar, Lun. Parah... parah banget!" ujar Mia dengan suara parau.
"Masalah apa, Mia?" tanya Luna penuh kesabaran. "Pekerjaan? No, seorang Mia gak pernah bertingkah gini karena masalah pekerjaan. Biar gue tebak, pasti soal asmara kan? Arka?"
Luna sudah yakin seratus persen Mia akan menganggukkan kepalanya, maka ketika akhirnya Mia menggeleng, Luna tak bisa menyembunyikan raut kaget di wajahnya. "Bukan Arka?"
"Lun... kapan lo mulai jatuh cinta sama Stefan?" Mia balik bertanya, sontak menegakkan punggung.
"Hah?"
"Kapan lo jatuh cinta sama Stefan, Luna?"
"Gak perlu diulang juga gue tahu maksud pertanyaan lo. Tapi apa maksud lo nanya begitu?"
"Gue cuma penasaran kenapa lo bisa suka Stefan. Lo kan dulu paling ilfil sama dia. Apalagi kalo tiba-tiba dia sok akrab, tiba-tiba nimbrung kemanapun kita pergi, ngejar-ngejar lo dan yang pasti lo itu cinta mati sama Kak Daniel, senior kita di kampus. Terus kenapa lo bisa terjerat pesonanya Stefan?"
Luna mendongakkan kepala, terlihat memikirkan jawaban dari pertanyaan Mia. "Entah lah, Mi. Gue sendiri gak tahu kenapa bisa. Mungkin karena keteguhan Stefan, dan sejujurnya, gue emang udah lama suka dia. Cuma karena kelakuannya yang konyol, gue denial mulu. Tapi yah... mau sekeras apa pun gue berusaha, tetep aja gue gak bisa memungkiri hati. Sekarang lihat, gue udah bunting anaknya aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
A.M
ChickLitMia tak punya alasan lain untuk mencintai Arka. Sejak ditemukan Arka dalam keadaan menggenaskan lima belas tahun lalu, hati Mia seolah tertambat pada Arka seorang. Pahlawan kecilnya, yang mengulurkan tangan di saat ia ketakutan, menberinya sepoton...