Cobaan selalu muncul membayangi orang yang sedang move on. Mia setuju seratus persen dengan kalimat tersebut.
Dalam versi Mia, cobaan tersebut selalu muncul dalam sosok manusia yang sekarang tepat duduk di hadapannya. Mia sudah lupa berapa menit berlalu. Bisa jadi satuan menit sudah berubah jadi jam. Mia tak peduli. Godaan seperti ini harus diabaikan agar hati Mia aman sentosa. Tak lagi dipenuhi keraguan, ketidakpastian, harapan, ah sungguh panjang daftar kesuraman dunia percintaan Mia selama ini. Dan sekarang, ketika Mia mulai ingin melupakan semuanya, siap menapaki kisah cinta yang menjanjikan, kenapa orang itu malah sibuk mengejarnya? Oke, mungkin Mia terlalu gede rasa. Mungkin bukan mengejar dalam artian yang kadang hati kecil Mia masih harapkan. Lebih ke perasaan bersalah, mungkin? Ingin minta maaf, sepertinya itu lebih masuk akal. Lihat saja muka orang di depannya itu. terlihat frustasi karena Mia diam saja sedari tadi.
"Mi... Mia..." orang itu, Arka, memanggil nama Mia lagi. Berharap kali ini ada respon. "Airnya diminum, Mi. ntar keburu dingin loh." Arka tertawa garing. Padahal Mia memang pesan minuman dingin. Awalnya sih memang niat bercanda. Namun karena Mia sama sekali tak merespon,Arka jadi malu sendiri. Kesempatan ini tidak boleh disia-siakannya. Sudah berkali-kali Arka mengajak Mia untuk bertemu, berbicara, dan selalu berakhir dengan penolakan. Sungguh kesibukan Mia sudah jauh melampaui pejabat-pejabat. Walau Arka tahu, sibuk hanyalah alasan Mia saja. Menghindari dirinya adalah alasan paling tepat. Dan walaupun sudah berhadap-hadapan seperti ini, Mia masih menganggap Arka tak ada. Sebersalah itukah ia?
"Mi, ngomong, dong!"
"Ngomong"
"Yang banyak."
"Banyak"
"Yang niat, Mi."
"Niat."
"Niat solat subuh gimana?"
Mia diam.
"He he, becanda, Mi." Arka nyengir melihat Mia yang kembali memasang tampang datar. "Do'a buka puasa aja deh biar kamu happy. Oh oke...oke aku diam nih!" Arka mengakhiri ujung kalimatnya dengan cengiran canggung. Dua jarinya diangkat ke udara membentuk tanda peace.
Melihat Mia masih tak merespon, Arka menghela nafas pelan. Ia menegakkan punggung. Siap mengeluarkan kalimat sakti yang sedari tadi tertahan di ujung lidahnya.
"Oke, Mi, soal kejadian waktu itu, aku...umm... aku minta maaf." Ujar Arka pelan, nyaris berbisik.
Mia masih diam.
"Aku minta maaf." Ulang Arka lagi. kali ini cukup terdengar pendengaran Mia.
"Bukan ke aku seharusnya kamu minta maaf." Balas Mia akhirnya. Kalimat terpanjang pertamanya selama pertemuan ini. Arka bersorak dalam hati. Tak apa, katanya. Tak apa walau balasannya jutek begitu.
"Aku minta maaf, Mi. Tulus,"
"Mau setulus apapun kamu minta maaf, percuma. Bukan ke aku seharusnya kamu minta maaf." Mia mengulang perkataanya.
Arka mengehela nafas berat. Baiklah. Ia sudah tahu Mia akan berkata seperti ini. Walau sedikit menjatuhkan harga dirinya, ia harus melakukan hal ini. Benar kata orang. Minta maaf ke orang yang tidak kita sukai itu seperti rindu; berat! Terlebih kalau memang kita salah dan mengakui kesalahan kita di depan orang itu.
"Oke... kalau itu yang kamu mau, sampein permintaan maafku ke pacarmu itu. Puas?" Arka bahkan tak sadar kalau kalimat yang keluar dari mulutnya bernada sinis seperti itu.
"Minta maaf ke orangnya langsung." Mia tak mau kalah. "Yang tulus."
"Apa bedanya sih? Kamu kan pacarnya." Ucap Arka dengan penekanan penuh pada kata pacar.
KAMU SEDANG MEMBACA
A.M
ChickLitMia tak punya alasan lain untuk mencintai Arka. Sejak ditemukan Arka dalam keadaan menggenaskan lima belas tahun lalu, hati Mia seolah tertambat pada Arka seorang. Pahlawan kecilnya, yang mengulurkan tangan di saat ia ketakutan, menberinya sepoton...