Ruang tamu berukuran sedang itu penuh dengan gelak tawa. Tampak berbungkus-bungkus camilan dan potongan buah berserakan di atas meja yang terdapat lilin menyala di tengahnya. Sebuah teve yang tak ditonton menyala dengan suara sayup. Enam orang duduk di lantai, melingkari meja sambil berbincang dan terkadang tertawa cekikikan. Kaum perempuan dan laki-laki saling berhadapan di meja yang panjang. Sementara di luar hujan turun deras, membuat acara bakar-bakar malam ini gagal total. Alhasil, semua daging yang sudah disiapkan harus masuk lagi ke dalam kulkas, dan mereka harus puas dengan berbagai cemilan dan buah untuk mengalas perut.
"Jadi Mas Rey, gimana ceritanya bisa jadi pemimpin redaktur di majalah fashion? Ya, setahu aku tuh yang di posisi itu biasanya cewek-cewek modis dari kepala sampai ujung kaki."
Rey berdehem. Meluruskan punggungnya. Sejak tadi, dua pendatang baru, Giri dan Rey ditanyai banyak hal oleh empat sekawan itu. Kata Luna, anggap saja lilin di tengah meja adalah api unggun suci dan mereka sedang melingkarinya layaknya sedang melakukan makrab. Mereka berempat seniornya, dan dua orang lagi adalah junior yang harus dipelonco habis-habisan sepanjang malam. (Makrab: malam keakraban)
"Maksud kamu, saya gak terlihat seperti Anna Wintour begitu?" Rey bertanya balik. Mencoba untuk bercanda.
"He... Mas Rey lucu deh kalau ngelawak." Ujar Luna sambil nyengir. "Jadi kebayang Mas Rey pake rambut bob sama ponian ala Anna Wintour kan. Tambahin kacamata hittam. Makin hacep!"
Semuanya terkikik-kikik.
"Well, pemimpin redaksi majalah fashion gak semuanya harus perempuan with high style, with top branded from top to the toe, kok, Luna." Rey tersenyum tipis. "Di kantor majalah saya dulu waktu di Aussie, pemimpin redakturnya laki-laki, 40 tahun, dan masih banyak lagi kaum pria yang berkecimpung di dunia fashion. Jadi saya gak masalah dengan hal itu."
Luna dan Giri bertepuk tangan meriah. sementara sisanya, Arka, Stefan dan Mia hanya merespon kecil lewat anggukan kepala. Terlebih Arka, daritadi dia tak habis pikir bagaimana bisa Luna dan Giri begitu semangat bertanya bayak hal ke lelaki itu. memanggilnya dengan embel-embel "mas" lagi. Kalau Luna yang seperti itu, dia masih terima. tapi melihat Giri ikut-ikutan, Arka semakin panas mendengarnya. Mengukur jarak umur antara mereka, Rey lebih cocok dipanggil Oom.
"Tau gak sih, Mas. Di pikiran aku tuh ya, kalau pemimpin redaksi fashion tuh pasti dingin, galak, cerewet, ya... mirip-mirip karakternya Miranda Priestly di film The Devil's Wears Prada deh." Kali ini Giri yang ikut berkomentar.
"Oh, that bitchy boss!" sambung Mia antusias. "I don't understand why it's so difficult to confirm an appointment. Details of your incompetence do not interest me." Ujar Luna pura-pura mengikuti dialog Miranda Priestly.
Rey tergelak. "Kalau saya sih gak merasa jadi boss seperti itu. Tapi coba saja tanya Mia. persepsi orang, siapa yang tahu."
"Ciee, suruh tanya Mia. tanya langsung aja dong, Mas." Timbrung Stefan. ikutan istrinya menggoda Rey dan Mia. "Mia... Mia... Mas Rey mau nanya sesuatu nih."
"Eh kenapa?" tanya Mia kaget.
"Idih, ngelanjor ya lu, Mi? jelas-jelas ada yang cakep di depan mata juga."
"Apaan sih. Gue dengerin kali dari tadi." bela Mia. "tadi lo manggi gue kenapa, Pan?"
"Katanya denger, tapi malah nanya lagi."
"Gue gak fokus tadi, nyet."
"Eh, malah nyolot lo. Malu dong sama boss lu! " Timpal Stefan seraya melirik Rey di sampingnya.
"Tau ah!" Mia mendengus kesal. Tangannya menyobot satu bungkus ciki dan langsung makan dengan suapan banyak.
"Jadi, Mi, tadi tuh Mas Rey suruh kita-kita nanya ke elo, gimana sikap dia selama jadi boss. Gak senyebelin Miranda Pristley kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
A.M
ChickLitMia tak punya alasan lain untuk mencintai Arka. Sejak ditemukan Arka dalam keadaan menggenaskan lima belas tahun lalu, hati Mia seolah tertambat pada Arka seorang. Pahlawan kecilnya, yang mengulurkan tangan di saat ia ketakutan, menberinya sepoton...