Pagi hari yang cerah di awal pekan, Mia melangkahkan kakinya dengan riang memasuki gedung dimana kantor Adore Magazine berada. Mentari perlahan mulai naik, memancarkan cahayanya yang hangat, yang sayangnya hanya dalam waktu beberapa jam kemudian kehangatannya harus tergantikan dengan rasa panas yang menyengat.
Bibir Mia tertarik membentuk garis tipis saat melihat kumpulan orang-orang di depan lift. Selalu penuh di jam pagi seperti ini, tapi entah mengapa, ia menyukainya. Ia suka berada di keramaian, di tengah ritme kerja yang sibuk. Arka pernah mengatakan bahwa dirinya seorang masokis kerja, terlalu menikmati masa-masa lembur ketika mengejar deadline cetak majalah. Tapi mau bagaimana lagi, daripada kepala stress dengan kerjaan yang semakin menumpuk, lebih baik semuanya dijalani dengan senang hati. Toh dengan begitu ia bisa melupakan kepenatan hatinya, tergantikan dengan kepenatan fisik dan pikiran yang justru malah dinikmati Mia. Sayangnya, orang yang mengatakan ia masokis kerja sama sekali tidak menyadari bahwa ialah alasan Mia melakukan semuanya. Sudahlah, Mia terlalu pusing dengan perasaannya yang berputar di situ-situ saja. Usianya dua puluh lima tahun lebih tujuh hari hingga saat ini, dan bayangkan, selama itu jugalah hati Mia kosong. Tak pernah terjamah oleh laki-laki lain dengan status kekasih. Jangankan kekasih, sekedar gebetan saja ia tidak punya. Ia terlalu banyak menghabiskan waktu bersama Arka, sehingga tidak punya waktu untuk melihat pria lain yang jelas-jelas menaruh hati padanya, namun segera balik badan begitu ditanggapi dengan cuek oleh Mia. Belum lagi dengan kehadiran Arka yang seolah-olah menyiratkan mereka mempunyai hubungan lebih. Sayangnya, itu semua hanya ada di dalam benak orang-orang. Dilihat dari jauh, mereka seperti pasangan bahagia. Tapi nyatanya, tidak begitu yang dirasakan Mia. Dia ada, Arka ada untuknya, selalu, tapi sayangnya hanya 'ada' dalam artian berbeda. Bukan seperti yang di pikirkan orang-orang. Ditambah lagi dengan kehadiran seorang gadis mungil bernama salah satu wali songo itu. Membikin Mia semakin sadar, bahwa kini saatnya ia kembali menyibukkan diri. Menyusun lagi kepingan hatinya mulai retak sebelum hancur berkeping-keping.
"Lo harus mulai membuka hati buat cowok lain, Mia" begitu kata Luna suatu hari. Geleng-geleng kepala melihat kelakuan Mia yang diam-diam mengikuti kencan Arka dengan mantan kekasihnya dulu. Bersembunyi di balik bunga besar, tapi matanya jeli melihat tangan Arka yang diam-diam mulai naik menyentuh tangan si kekasih, terus merambat ke lengan, leher, dan kepala mereka saling mendekat dan......
"Jangan diliat, sayang! Bikin lo sakit hati" Tangan Luna kasar menarik kepala Mia dari objek tatapannya. Membuat yang ditarik memberengut kesal. Rasa penasaran dan cemburu kentara menjadi satu.
"Sakit hati apaan? Gue itu lagi ngelaksanain tugas dari Mama buat mata-matain mereka. Mau lihat sampai mana kelakuan saudara gue itu, kalau sampai kelewatan gini ya gue tinggal lapor. Besok paling gue sama Mama sibuk ngantarin dia ke pesantren."
Luna menghela nafas pendek. Mulut boleh bicara begitu, tapi lihatlah wajah Mia sekarang. Tak ada lagi binar bahagia disana. Satu kata untuk melukiskan wajah cantik sahabatnya itu 'cemburu'. Kalau boleh dua kata, maka jadilah 'cemburu berat'. Kalau tiga kata maka 'cemburu berat sekali'. Begitu seterusnya hingga entah mau berapa kata, intinya selalu ada kata cemburu disana.
"Mia.. Mia...! Hebat ya lo." Luna tertawa sinis. "Mau sampai kapan lo jadi idiot gara-gara Arka hah? Sembunyi di balik alasan 'Mama yang nyuruh' atau 'Arka itu sahabat gue, sodara gue, cemburu apaan sih?'. Tanpa lo sembunyiin aja semua orang udah tahu, you have a deep feeling for him. Sekarang tinggal waktunya lo buat shout it out. Tell him, bilang kalau lo cinta sama dia. Bilang kalau lo nganggap Arka lebih dari sekedar saudara dan sahabat, bilang kalau lo cemburu, marah lihat kelakuan dia sama pacarnya yang... no no Mia jangan dilihat. Sumpah ya tu bocah. Geblek banget gak lihat lagi di tempat umum main nyosor-nyosor aja. Mia? Lo oke?"
Sayangnya, omelan panjang Luna hanya direspon pendek oleh Mia. Respon yang selalu sama seperti biasa. Dan bisa ditebak, akhir dari acara stalking mereka berakhir dengan Mia yang wajahnya berubah merah padam. Lantas meraih tasnya, angkat kaki secepatnya. Luna tidak tahu apakah Mia menangis atau apa setelah itu. Yang jelas, Luna hanya bisa memberengut kesal karena ia lah yang harus membayar tagihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
A.M
ChickLitMia tak punya alasan lain untuk mencintai Arka. Sejak ditemukan Arka dalam keadaan menggenaskan lima belas tahun lalu, hati Mia seolah tertambat pada Arka seorang. Pahlawan kecilnya, yang mengulurkan tangan di saat ia ketakutan, menberinya sepoton...