Pengakuan

4.5K 515 168
                                    

Ada yang aneh dengan sikap Luna dua hari belakangan ini. Itu yang terlintas di pikiran  Mia saat mereka menghabiskan sabtu siang dengan berkeliling mall, khususnya ke toko perlengkapan bayi. Luna memang masih banyak mengoceh tentang berbagai pilihan peralatan bayi di toko. Soal kualitas bahan, warna-warna yang menurutnya terlalu mencolok, atau decakan sebalnya soal ketidatahuannya mengenai jenis kelamin anaknya kelak. Padahal ia sendiri yang memutuskan untuk tidak mau tahu agar jadi surprise saat lahiran nanti. Tapi gara-gara itu juga Luna jadi dilema sendiri melihat aneka koleksi gaun-gaun mungil yang sangat feminim itu. Mau beli, bagaimana kalau yang berojol malah laki-laki?

Dalam keadaan normal, semuanya terdengar biasa saja untuk Mia. Namun kali ini, Luna selalu mengakhiri ocehannya dengan menatap Mia dalam. Lalu bertanya, “Lo baik-baik aja, Mi? apa ada hal tak terduga yang terjadi dengan lo belakangan ini?” pertanyaan itu terus ditanya berulang kali, walau dengan redaksi berbeda.

“Gue capek. Apa itu termasuk hal tak terduga?” Balas Mia muram. Padahal bukan ia yang hamil, tapi kenapa ia yang jadi cemen masalah stamina. Sementara ibu hamil di depannya itu masih tampak segar bugar.

“Baru juga jam berapa,” kata Luna santai. Kembali melihat-lihat koleksi kemeja pria. Mereka sudah berpindah store. Puas melihat-lihat segala pernak-pernik berbau bayi, Luna menyeretnya ke store pakaian khusus pria. Katanya ia butuh beberapa kemeja baru untuk Stefan.

“Emangnya Stefan gak bisa nyari baju sendiri apa? Masa untuk kebutuhan pribadinya harus lo juga yang ngurusin?” tanya Mia pada Luna.

Luna tergelak. “Pengen tahu banget ya, buk? Nikah makanya!”

“Dih… apa hubungannya?”

“Biar lo tahu, kalau nyiapin kebutuhan suami itu bagian dari kepuasan batin.”

“Kata-kata lo kok ambigu gitu sih?”

“Masa sih?” Luna tampak berpikir, lalu tergelak sendiri saat menyadarinya. “Beda atuh, Mi, antara kebutuhan yang gue maksud sama kebutuhan  yang onoh,” Luna membuat gerakan tanda kutip pada ujung kalimat. “Kalau kebutuhan yang itu, harus dipenuhi bersama-sama demi kepuasan bersama juga.”

“Astaga, ganas banget dong kalian berdua? Kasihan dede bayinya.”

“Tenang aja, justru kata Stefan itu jadi bukti betapa sayangnya dia ke dedek. Buktinya rajin dikunjungin tiap hari."

"Dasar pasangan gila." Mia menggeleng kepala geli. Luna lagi-lagi hanya membalasnya dengan tawa lepas. Di masing-masing tangannya kini terdapat dua kemeja. "Yang kanan." Ujar Mia sebelum ditanya.

Luna tersenyum puas, "Gue juga mikirnya gitu. Kalau yang ini warnanya terlalu terang. Stefan kan suka sembarangan. Ntar nodanya susah hilang, gue juga yang repot. Kasir yuk!" Ajak Luna, membawa beberapa potong pakaian ke meja kasir. Mia hanya bisa mengekor dari belakang. Memang ia sedang tidak niat berbelanja hari ini. Lagian untuk apa juga ia memborong pakaian pria.

"Lo gak mau beli apa-apa gitu?" Tanya Luna sambil menunggu kasir menyelesaikan pembayaran.

"Selera gue masih feminim ya."

"Ya bukan buat lo lah. Mana tahu lo mau beliin buat pacar baru."

"Buat Rey maksud lo?"

"Emang pacar lo siapa lagi?"

"Takut gak sesuai selera dia. Lo tahu lah, walaupun cowok, selera fashionnya kan tinggi."

"Iya juga sih, dia kan Editor in Chiefnya majalah fashion. Pasti seleranya yang high end ya, Mi?"
"Sejauh yang gue tahu sih gitu." Mia mulai mengingat-ingat merek kemeja dan jas yang sering Rey pakai, juga baju-baju di lemari Tira. Bayangkan, anak umur lima tahun saja sudah menenteng paperbag burberry saat shopping.

A.MTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang