Sepekan berlalu dengan cepat. Berganti dengan pekan selanjutnya. Banyak kejadian silih berganti, lantas berlalu begitu saja. Beberapa meninggalkan bekas, sisanya lagi diingat pun tidak. Menjelang akhir bulan, kantor majalah Adore sibuk dengan segala kegiatan. Jadwal naik cetak semakin dekat, alhasil semuanya mesti lembur demi mengejar target yang diinginkan. Ditambah lagi dengan kehadiran sang Pemimpin Redaksi baru, yang jelas sekali memiliki ambisi besar untuk membawa nama majalah yang dipimpinnya melesat jauh dengan pesaing di tanah air hingga melesat ke kancah internasional. Tak bisa dipungkiri, ide-idenya memang cemerlang, terbukti dengan angka penjualan tinggi di pekan pertama penerbitan majalah edisi bulan ini. Dan sekarang, usai melewati masa-masa krisis mengejar deadline dengan jam istirahat sangat minim, akhirnya semua anggota redaksi Adore menghembuskan nafas lega. Awal bulan, gaji keluar, apalagi hal yang lebih indah dari itu?
"Lo masih jadi kacung kopinya Pak Rey, Mi?" tanya Lily saat Mia sedang menyeduh kopi di meja pantry. Mia mengangkat bahunya. Sibuk mengaduk kopi. Sebulan berlalu, Mia punya jobdesk baru di samping daftar pekerjaannya sebagai jurnalis majalah mode, yakni pembuat kopi sang pemimpin redaksi. Tiap pagi, saat Reynald mulai memasuki ruangnnya, maka Mia langsung bergegas ke pantry. Menyeduh kopi.
"Jangan kacung juga kali, Ly. Nista banget nasib gue." Seloroh Mia. Dicicipnya sedikit kopi yang sedang diseduhnya, setelah merasa pas, Mia mengambil tisu untuk membersihkan lelehan kopi di bibir gelas.
"Eh, Mi, kalau Pak Rey marah-marah, lo pernah ada niat buat ngeludahin kopinya gak?" tanya Lily jahil.
"Sempat berkali-kali gue pengen ngelakuin itu, tapi berkali-kali juga semuanya mendadak sirna saat gue teringat muka sangarnya kalau lagi rapat. Apalah daya anak buah kayak kita."
Pintu pantry terbuka, Adi, salah satu rekan kerja mereka masuk. Mengisi gelas minumnya lantas berlalu lagi. Tak lama muncul Hani, yang langsung tersenyum sumringah melihat gelas kopi di tangan Mia.
"Buat gue ya, Mi? Ah pengertian banget sih lo."
"Nai...nai..! Langkahi mayat Pak Rey dulu kalo mau icip-icip." Sembur Lily. Menjauhkan gelas kopi dari tangan Hani yang sudah terangkat semangat. "Mending buruan lo antar deh, Mi. sebelum dementor menyedot kebahagiaan kita di awal bulan yang indah ini. Eh, Han, abis ini shopping yuk. Kemaren gue liat sepatu lagi promo di—"
Suara rumpian Hani dan Lily semakin samar dan akhirnya hilang dari tangkapan telinga Mia. Sekarang ia melangkah hati-hati melewati anak tangga menuju ruang Pak Reynald. Berharap hari ini yang bersangkutan sedang ber-mood patronus alih-alih dementor si penyedot kebahagiaan. Hampir sebulan bekerja sama dengan sang pemimpin baru, anggota redaksi majalah mengerti tabiat boss mereka. Seperti perempuan, Pak Rey memiliki perubahan mood mendadak sesuai tanggal dan suasana. Menjelang tenggat waktu cetak dan suasana rapat yang mendadak kehilangan ide segar, maka ia akan bertranfsormasi menjadi tukang jagal menyeramkan. Berwajah datar dan juga kalimat-kalimat sindiriannya yang selalu mengena. Kalau sudah begitu maka ia akan menjadi bukan-bulanan orang sekantor. Tapi ada juga masanya ia berubah baik bak malaikat jatuh dari nirwana. Misalnya masuk kantor dengan senyum dikulum manis, menyapa seluruh orang di ruangan, dan yang paling baik mentraktir makan semua penghuni kantor. Meski hanya delivery pizza. Tapi tetap saja, bagi perut-perut kelaparan yang terpaksa lembur mengejar deadline, sekotak pizza dengan taburan keju mozzarella yang legit bagaikan oase di tengah panasnya gurun. Singkat kata, semua orang percaya pada satu hal, yakni sang pemimpin mereka mengidap bipolar.
"Masuk." Terdengar sahutan dari dalam saat Mia mengetuk pintu pelan. Seperti biasa, dibukanya pintu pelan-pelan, lantas meletakkan gelas kopi di atas meja. Rey sedang berbicara dengan seseorang lewat telefon. Begitu melihat Mia masuk, segera ditutupnya panggilan tersebut. Matanya mengikuti setiap gerakan perempuan di depannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
A.M
Chick-LitMia tak punya alasan lain untuk mencintai Arka. Sejak ditemukan Arka dalam keadaan menggenaskan lima belas tahun lalu, hati Mia seolah tertambat pada Arka seorang. Pahlawan kecilnya, yang mengulurkan tangan di saat ia ketakutan, menberinya sepoton...