twenty eight

1.4K 235 100
                                    

Y/N's PoV

"Y/n, kamu handle ya sisanya." what?! gue gak ngerti apa apa anjeng, pikiranku entah pergi kemana. Fisikku tentunya ada disini, tapi pikiranku entah melayang kemana. Sejujurnya yang memenuhi pikiranku kali ini adalah Dylan, i mean, dia kan main di film yang sama dengan Thomas.

"Moon to earth, y/n." aku mengangguk tanpa tahu apa yang aku setujui, setelah rapat dibubarkan, aku ke kafe di lantai bawah.

Valerie: Gue kayaknya agak telat deh, lo pesen duluan aja. nanti gue ganti.

Sialan, aku masih waras untuk tidak sendirian duduk di pojok kafe dengan tampang beloon dan menyedihkan begini, jadilah setelah mendapatkan green tea latte-ku, aku pergi ke ruangan Val. Yah, omong omong walaupun Val baru kerja dua minggu tapi, ruangannya satu lantai dengan artis artis yang biasanya ikut interview disini, betapa dunia tidak adil terhadap diriku yang makin mengenaskan di setiap harinya.

Sebenarnya tujuanku ke lantai ini untuk bertemu Dylan dan bertanya tentang Thomas.

Aku mengetuk pintu ruang kerja Val dan langsung masuk tanpa ada persetujuan dari Val. "Gue sibuk, sono sono, ah, nanti gue ganti green tea-nya, elah." cecar Val dengan pandangan yang masih fokus pada layar monitornya.

"Gue kayak orang depresi di bawah sendirian." sahutku dengan nada minta dikasihani.

Val mendengus dan menghampiriku, aku tahu, sesibuk apapun, Val akan available untukku. "Bukannya lo dapet job bagian interview?" aku memandangnya bingung. "Astaga, bangke pesut, otak lo  kemana tadi pas meeting?" aku tertawa cengengesan. "Interview cast The Scorch Trials tuh, tapi, katanya Thomas gak dateng." oh, ini alasan Dylan berkeliaran di wilayah kantor.

Wait, what? Thomas gak dateng? HA, sudah kubilang di awal bukan? dunia tak berlaku adil.

Aku hanya mengangguk saja. "Katanya sih Thomas ada urusan gitu," Val melanjutkan tapi, saat matanya mengamati perubahan ekspresiku, Val merangkulku. "Lo tau, dia bakal balik." aku tersenyum miris.

"Yaudah, gue ke ruang interview dulu." sahutku sambil mengelus bahu Val.

Flat shoes-ku menimbulkan suara di lorong, suara yang berisik tapi, entah kenapa membawaku untuk melamun memikirkan anak lelaki keparat itu. "Hi, excuse me, where's the-- oh  hey, kita ketemu lagi." Dylan lagi lagi dengan kurang ajar menghentikan langkahku.

"You can speak with Bahasa?" Dylan mengangguk.

"My friend teach me that language." jawabnya tenang yang malah membuat jantungku tiap detiknya terasa tersambar.

Aku menuntunnya ke ruang interview karena memang kami satu arah. "Siapa? Thomas?" kutanyakan akhirnya pertanyaan yang membeludak di otakku.

Dylan menatapku kaget. "How do you know? i mean, tidak banyak yang tau Thomas pernah tinggal disini." aku hanya menanggapinya dengan tersenyum.

"Dyl," ia bergumam untuk menanggapi. "Kenapa Thomas gak dateng?" tanyaku malu malu, yah, aku kan masih menyimpan perasaan. Tak salah kan jika aku penasaran setengah mati begini?

"Seriously, are you Thomas's biggest fan?" aku hanya mengangguk, ya, aku penggemarnya, penggemar nomor satu-nya. Dylan terkekeh melihat reaksiku yang salah tingkah. "I literally don't know what happened with him, saat diumumkan ada interview disini, Thomas langsung bilang bahwa ia punya urusan lain dan tidak bisa dibatalkan." Sungguh, jika yang di hadapanku bukan Dylan mungkin aku telah berakhir dengan wajah minta dikasihani dan air mata yang tak akan berhenti hingga dua jam.

Thomas menghindar dariku? Thomas menghindar setelah janjinya 8 tahun lalu? Lalu sekarang apa? Aku hanyalah wanita kesepian yang menunggu lelaki yang sama selama bertahun tahun tanpa hasil. "Trust me, you'll meet him soon, he's cool. He's cool the way he is." lanjut Dylan sambil terkekeh.

"Dyl, I have to go now. Itu ruang interview-nya. Thank you for being here today!" sahutku seriang mungkin. Aku berjalan cepat ke arah lift untuk turun ke lantai bawah. Dengan air mata yang telah mengalir, aku mengetik pesan cepat.

Y/n: Bos, izin, lagi sakit ni.

Boss maha agung: yaudah, gws y.

Selama sembilan tahun mencitainya, aku selalu percaya bahwa akan ada akhir bahagia di setiap cerita, begitu pula dengan ceritaku. Aku harap.

Melihat tingkah lakunya yang konyol dan terkesan blak blakan atau melihatnya tersenyum tanpa sadar telah mengubah semuanya.

Merasakan setiap perlindungannya yang ia tujukan padaku membuat setiap hariku terasa aman dan  tanpa kurasa kau menganggapku istimewa, aku tersanjung.

Lagi, segelintir alasan muncul lagi di pikiranku, menyuruhku tetap menunggu.

I hate that every time i'm about to give up, you keep giving me some reasons to wait and stay.

Kulangkahkan kakiku ke dalam toko buku, satu satunya hiburan setelah Thomas pergi.

Setelah dua jam berkeliling, sudah ada empat buku -dengan tebal melebihi lcd laptop- di tanganku. Mataku yang sembab menelusuri rak dari atas ke bawah. Mataku berhenti saat di rak teratas terdapat novel dengan judul yang dicetak besar besar WAITING FOR NOTHING.

Ini maksudnya apa? Nyindir? tapi, tak pelak kuambil juga novel di rak teratas itu. Aku mendengus saat tubuhku tak mampu mengambilnya, mungkin benar yang Thomas katakan dulu di pertemuan pertama; aku si cewek boncel.

Sial, kenapa semua yang ada di otakku selalu terhubung padanya.

Memalukan seorang wanita 24 tahun tidak sanggup mengambil novel di rak. Saat tanganku menggapai gapai tanpa hasil, sebuah tangan panjang terjulur mengambil novel itu tapi,  sebelum novel itu dijulurkan ke arahku ia membaca judul novel itu. "Nothing? seriously? I'm here." tanyanya dengan wajah tersinggung dan dengan sikap berkacak pinggang.

" tanyanya dengan wajah tersinggung dan dengan sikap berkacak pinggang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aksen itu.

Wajah tersinggung itu.

Dan mata cokelat gelapnya.

Semua sama, seperti delapan tahun lalu.

------------------------

uhuq, belom end kok belom. vote ae dulu

Unpredictable▶ Thomas SangsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang