22. Pilihan Reyna

685 53 6
                                    

Rey terbelalak. Nafasnya tercekat untuk sesaat mendengar jawabab itu.

"Rey, aku-"

"Ah tidak, tidak." Sela Rey sambil tertawa kecil. Terpaksa.

"Aku aneh tiba-tiba bilang gitu. Ahaha."

Aran menatap Rey sedih. "Bukan, Rey aku-"

"Sudahlah. Maaf. Semoga pertunanganmu lancar." Sela Rey lagi. Ia tak ingin mendengar kalimat lanjutan dari Aran itu. Ia terpaksa tertawa kecil namun gagal. Air matanya turun lebih dulu. Aran terpana.

"Re-rey?"

"..ah." Rey tersadar dengan turunnya air mata itu. Ia segera menyekanya cepat. Tak bisa. Air matanya terus turun. "A-aku mau ke kamar dulu." ucapnya sembari bangkit dan berlari dari perpustakaan itu.

Aran berusaha menangkap lengan Rey, tapi tak berhasil. ia menatap punggung gadis yang berlalu itu dengan heran sekaligus bersalah.

Dengan kesal Aran mengacak-acak rambutnya. "Dengar dulu dong!" Umpatnya kesal.

_____

Arna hanya bisa diam, berpura-pura tak melihat keadaan buruk Rey. Rey sendiri hanya bisa berbaring menghadap jendela dengan tatapan kosong. Headset di telinganya tersambung.

"Rey, aku ke pasar dulu ya." pamitnya. Rey mengabaikannya tanpa respon sedikitpun.

Arna menghela nafas panjang. Ia lalu keluar dengan sebuah dompet berwarna hijau muda.

Didepan pintu sudah ada Rian yang berdiri dengan cemas.

"Kudengar dari Aran-"

"Lihat saja sendiri." Sela Arna mempersilahkan. Rian tersenyum tipis sambil mengangguk.

Rian membuka pintu dan mendapati Rey yang masih di posisi nya.

"Hei, dik." Panggil Rian membuat Rey terduduk.

"Ah, kakak." Rey melepas headsetnya. "Ada apa?"

Rian tersenyum tipis. "Aku dengar dari Aran." Jawabnya singkat membuat Rey terdiam.

"Lalu?"

Rian menghela nafas. "Tidak ada. Hanya ingin mengobrol."

Rian duduk disebelah Rey. Ia memperhatikan adiknya dari samping itu. Matanya sembab.

"Akhirnya kau mengakui perasaanmu."

Rey menghela nafas pelan. "Terlambat."

Rian tersenyum tipis. Ia mengelus kepala Reyna.

"mungkin ini hanya phobiaku yang mulai kembali." Jelas Rey. Rian tersenyum.

"Um, menurutku mungkin semua orang mengidap phobia yang sama." Ujar Rian membuat Rey menoleh.

"Ha?"

"Ya, phobiamu itu. Athazagoraphobia. Takut terlupakan dan terabaikan. Aku rasa semua orang mengidap phobia itu."

"Karena semua orang pasti takut terabaikan oleh orang yang disayanginya. Hanya saja mungkin tingkatan tiap orang berbeda." Jelasnya.

Rey terdiam sebentar. Mencerna semua kalimat itu. "Sejak kapan kakak jadi peneliti?"

Rian tertawa. "Sudahlah. Percaya saja pada Aran kalau kau tidak mau kehilangannya."

Rey terpana.

"aku tak pernah melihatnya melirik gadis lain selain kamu."

Pipi Rey merona mendengarnya, membuat Rian hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Kakak," ujarnya. "Aku tak bisa lagi percaya padanya. Dia sudah-"

Stand By YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang