Memang melegakan rasanya bertemu dengan Jane karena bayang-bayang 'rumah' sudah ada di depan mata. Tapi aku tidak berharap pertemuan ini karena jasa dari David. David itu harusnya gila dan bodoh, suka menggodaku alih-alih membantuku menemukan keluargaku. Kalau David sudah bertindak, berarti dia serius. Kalau dia serius, suasana antara aku dan dia berubah 180 derajat.
Seperti sekarang ini.
Aku tidak tahu harus berkata apa saat mobilnya sudah sampai di depan rumah Davis. Sebenarnya, aku bingung memilih kalimat antara 'terima kasih sudah mengajakku jalan' atau 'terima kasih sudah menelpon Jane'.
"Terima kasih." Kataku akhirnya, tanpa memberikan penjelasan apapun.
David melihatku, tapi tak ada tampang cengengesannya seperti beberapa jam yang lalu. "Ya, sweetie.
"Hmm, okay."
Omong-omong soal Jane, ia pergi menemui teman lamanya sebentar jadi ia menyuruhku pulang ke rumah Davis dulu untuk menunggu dan berkemas.
Saat aku dengar kata berkemas, aku refleks bertanya-tanya apakah aku perlu melakukan itu. Aku hanya punya satu pakaian dalam, satu celana, dan satu baju. Sisanya tentu saja bukan milikku.
Aku melihat ke arah rumah dan seketika aku teringat Davis. Sekarang aku bingung bagaimana cara menghadapi Davis dan omelannya. Setelah percakapan singkatku dengan David, aku tak berbuat apapun dan hanya melihat kedua lututku. Aku diam, tapi otakku merangkai kata untuk persiapan melawan Davis. Selain itu, sekarang ini dadaku sedang merasa campur-aduk. Aku senang akan kembali ke rumahku yang sebenarnya, tapi kenyataan bahwa aku akan meninggalkan Davis dan segala sesuatu disini membuatku sedikit... entahlah.
"Kau terlihat tidak senang?" David berkata tiba-tiba saat aku mencoba melepas sabuk pengamanku.
Aku menoleh ke arahnya. David memang tidak memiliki mata biru yang indah seperti Davis, tapi saat matanya menatapku, aku baru sadar mata cokelatnya juga tak kalah indah, hanya saja mereka mudah ditebak.
"Aku senang." Kataku. Aku mencoba tersenyum meskipun yang terbentuk hanya sebuah garis lurus.
"Kuharap begitu."
"Memang begitu."
"Tapi yang kulihat sekarang tidak begitu."
Aku diam. Bahkan aku tidak marah saat dia merapikan rambutku ke belakang telinga. "Dengar, sweetie, aku sungguh minta maaf. Tapi aku tidak bisa pura-pura tidak terjadi apapun sementara aku tahu apa yang seharusnya aku lakukan."
"Ya, aku tahu. Hanya saja...."
"Aku tahu, sweetie." Ia melihatku sambil tersenyum pahit. "Aku tahu kau sulit jauh dari Davis karena kau menyukainya. Tapi pulang ke rumahmu bukan berarti jarak antara kau dan dia jadi putus, kan?"
Aku kaget. Apakah selama ini rasa sukaku terlalu jelas terlihat?
David memegang pundakku dan memutarnya hingga aku benar-benar berhadapan dengannya. "Dengar, aku mungkin bodoh, tapi aku ingin kau mendengarkan perkataanku ini." Ia mengambil napas panjang dan membuangnya keras-keras. Tingkahnya itu membuatku tertawa pelan. Atmosfer diantara kami jauh lebih baik sekarang.
"Jadi begini, kita misalkan saja ini Davis." Ia menunjukkan tangannya yang dikepal, kemudian ia mengangkat jari telunjuknya.
"Kau tahu kan, saingan terbesarmu?" Aku hanya mengangguk. "Jadi ini Emma." Ia mengangkat jari manisnya. "Davis dan Emma berteman sejak kecil. Mereka dekat, tentu saja. Bahkan beberapa orang di sekolah menganggap mereka pacaran."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sleeping Beauty
Teen FictionIni cerita tentang Alice. Gadis berumur 16 tahun yang mengidap penyakit Syndrom Kleine-Levin. Kau tahu? itu penyakit langka. Kau bisa tertidur selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Tapi, suatu hari, ketika ia terbangun, ia be...