13

13.8K 1.3K 134
                                    

Aku bukan orang yang suka mencari kesenangan dengan mencoba hal-hal baru. Itu bukan gayaku. Aku lebih senang menghabiskan seluruh waktuku di rumah, dengan bantal dan selimutku, dengan makanan dan koleksi film drama yang bisa membuatku terharu biru. Aku lebih senang mencari aman dan hidup damai.

Jadi, aku menyesali semua yang terjadi padaku hari ini. aku benar-benar mengutuk kesialan yang silih berganti datang padaku.

Aku menyesal ikut dengan David, aku menyesal tidak mengindahkan ucapan Davis, aku menyesal bertemu dengan Ben.

Tapi ketika aku benar-benar sadar kalau aku tersesat dan kambuh, aku menyesal lari dari restoran itu.

Mataku berkunang-kunang dan pengelihatanku mulai berkurang. Aku benar-benar pusing melihat orang yang berlalu-lalang di pinggir jalan. Aku pusing melihat mobil-mobil yang berlalu-lalang dengan cepat dan tidak ada hentinya. Astaga, aku dimana, sih?

Rasanya seperti tersesat di kota antah berantah.

Sebenarnya, aku juga sudah berlalu-lalang di pinggir jalan tanpa hasil. Aku berkali-kali mampir di teras kedai di pinggir jalan, lalu berjongkok dan hampir tertidur berkali-kali pula. Kemudian aku berjalan lagi. Lalu berjongkok lagi. Berjalan, berjongkok. Terus begitu tanpa hasil.

Lalu, setelah menimbang-nimbang cukup lama tanpa menghiraukan otakku yang berteriak untuk pulang ke rumah Davis, akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke restoran tadi. Masa bodoh jika Ben menemukanku lagi. itu lebih baik daripada sendirian di pinggir jalan tanpa tujuan seperti ini. Sungguh konyol.

Aku menguatkan diriku berkali-kali dan menyeret kakiku. Sepuluh menit berjalan, aku benar-benar tidak sanggup melangkah. Napasku seperti tercekat dan aku berkeringat dingin. Pusing. Ngantuk. Aku butuh bantal.

Ini situasi yang benar-benar sulit, kau tahu? Aku tersesat, kelelahan, dan kambuh. Dan sekarang pertanyaanya adalah: restoran tadi letaknya dimana?! Aku lupa jalannya. Sialan.

“Apa kau tahu dimana letak restoran dengan menu burger porsi jumbo?” tanyaku pada seorang pria raksasa yang badannya seperti bola berukuran jumbo. Orang yang kutanyai ini bukan sembarang orang. Melihat perutnya yang seratus kali lebih besar dari kepalanya, aku yakin dia suka makan.

“Apa nama restorannya?” Pria itu balas bertanya. Kalau aku tahu nama restorannya, untuk apa aku bertanya dengan menu? Duh.

Tidak mungkin kan aku bilang padanya, ‘Maaf tuan, aku ini penderita Syndrome Klein Levin, ingatanku agak terganggu.’ Itu seperti membuka aib, omong-omong.

“Maaf tuan, aku orang baru di kota ini jadi aku tidak memperhatikan dengan jelas nama restorannya. Omong-omong tuan, sebenarnya aku tersesat.” Itu alasan yang paling masuk akal, sepertinya.

“Kenapa bisa?”

“Ceritanya rumit.” Aku memasang pandangan menyedihkan dan  memelas. Pria itu memegangi janggutnya, tampak berpikir. “Bagaimana kalau lapor polisi saja?”

Aku tersenyum dipaksakan, “Adakah solusi yang tidak terlalu berlebihan?” Pria itu kembali berpikir, “Haduh, apa ya? Aku sedang terburu-buru.”

“Tolonglah,” Kataku memohon. Mataku berkaca-kaca dan siap menangis kapan saja. Tapi sebelum aku benar-benar menangis, Pria itu berkata, “Baik nona, aku akan membantu. Tenang saja.”

Aku tersenyum entah selebar apa. Rasanya lega. Ternyata masih ada orang baik yang mau membantuku.

“Apa kau ingat sesuatu tentang restoran itu—selain menunya?”

Tidak ada yang kuingat, sebenarnya. Tapi karena ini benar-benar penting untuk hidup dan matiku, aku berusaha mengingatnya sampai aku bisa merasakan keringat dingin mengalir. Pada detik-detik terakhir aku sudah putus asa karena tidak mengingat apapun, tapi Tuhan baik—dan selalu baik memberiku ilham tiba-tiba. “Yang kuingat, mereka memasang gambar burger besar di depan toko. Di gambar itu, burgernya punya tangan, kaki, dan memakai kaca mata hitam. ”

My Sleeping BeautyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang