26

10.2K 737 188
                                    


Dulu aku hanya punya rasa curiga padanya 20%. Sejak Ashley mengirim pesan padaku beberapa hari lalu, rasa itu meningkat jadi 80%. Meski begitu, aku tetap menyakinkan diri kalau semua itu belum tentu benar sampai aku melihatnya dengan mataku.

Hari ini, rasa curiga itu sudah sampai 100%.

Aku tidak peduli apakah memang Emma yang memecahkan vas itu atau apakah ia sengaja melakukan itu atau tidak. Aku hanya yakin dengan apa yang kulihat. Emma berdiri di ambang pintu dengan ekspresi itu. Ia tidak memberitahuku bahwa pecahan kaca itu ada di bawah sana padahal aku bersumpah kami bertatapan lama.

Ia membiarkanku menginjaknya.

Dan itu sudah cukup untuk membuktikan kalau ia memang sekejam itu padaku. Meskipun aku tidak yakin apakah aku pantas menggunakan kata 'kejam' untuk hal yang ia lakukan padaku.

Aku menggigit bibir sambil menahan isakan ketika Emma mulai melangkah masuk. Ia mengambil tempat sampah kecil di ujung kamar Davis dan berjalan pelan ke arahku. Tidak ada sepatah kata keluar dari mulutnya saat aku mendongak menatapnya. Ia berjongkok dan memungut pecahan itu dalam diam.

Pikiranku yang liar sudah menebak-nebak apa yang mungkin akan ia lakukan terhadapku setelah ini. Hanya kami berdua di kamar saat ini. Mungkin saja ia akan mempraktikkan adegan-adegan film thriller favoritnya.

Memikirkannya membuatku tidak bisa menahan tangisku. Aku menangis lebih keras.

"Kukira kita bisa berteman," Emma bicara sambil terus memungut beling-beling itu. "Setidaknya itu yang kupikirkan dulu ketika hari pertama kau di sini."

Aku berusaha keras menahan tangisku agar bisa mendengar suaranya, tapi justru mendengarnya membuatku merinding.

"Sampai aku sadar kalau kau memang ancaman."

Emma bicara dengan nada normal, tapi entah mengapa aku menciut mendengarnya. Saat itu tangannya tergores pecahan kaca, tapi aku tidak melihat perubahan ekspresi di wajahnya. Dan itu membuatku semakin takut melihat darahnya yang menetes.

"Kenapa?" Kataku akhirnya, lebih seperti berbisik.

Emma menghentikan kegiatannya kemudian menatapku dengan tatapan yang sama; sulit dimengerti.

"Harusnya, aku yang bertanya," Ia terseyum singkat sebelum mengalihkan pandangannya ke lantai lagi. Tangannya mulai mengambil beling. "Kenapa kau mengambil apa yang sudah ditetapkan untukku?"

Suaraku parau, sementara tangisku belum reda. "Apa maksudmu?"

"Kau tidak boleh mengambilnya dariku, Alice." Katanya. "Perbuatanmu itu jahat."

Aku menatapnya tidak percaya karena aku baru mengerti apa yang sedang kami bicarakan. Badanku gemetar karena takut tapi aku tidak bisa menahan gigiku yang menggeretak menahan marah. Aku menyukai Davis dan ia bilang hal itu jahat. Ya Tuhan, apakah dia gila? Itu sama sekali tidak sebanding dengan apa yang ia lakukan padaku.

Saat Emma hendak mengambil pecahan terakhir di lantai, aku menarik napasku. Entah setan apa yang menghasutku dan entah dari mana aku dapat keberanian, tapi suaraku bergetar saat aku berkata, "Dia bukan milikmu."

Dan itu sukses membuat mimik wajahnya berubah meski hanya beberapa detik.

Kami bertatapan lama dan aku bisa melihat tatapannya menggelap, sampai akhirnya suara Davis memasuki ruangan dan membuat kami berdua sontak menoleh ke arahnya.

"Ya Tuhan!" Davis memekik, ia bolak-balik menatapku, menatap Emma, kemudian menatap lantai kamarnya. "Apa yang terjadi? Lihat kakimu, Alice!"

Aku mengerjap dan sesaat aku lupa Emma ada di sini karena wajah paniknya Davis membuatku tidak fokus. Kakiku sangat sakit dan aku tidak bisa berhenti menghilangkan isakanku sendiri, apalagi ketika aku sadar ada pecahan yang menancap di telapak kaki kananku.

My Sleeping BeautyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang