Sepanjang perjalanan tak ada hal yang menarik yang terjadi denganku dan Davis. Aku menguap berkali kali dan hampir tertidur, namun Davis selalu memanggil-manggil namaku setiap kali aku ingin memejamkan mataku. Aku meminta pada Davis untuk kembali pulang dan membiarkanku tidur dirumahnya, namun lagi-lagi Davis tidak menggubrisku. Dia tetap mengoceh betapa pentingnya pertandingan kali ini dan kami tak boleh telat satu menitpun.
Davis berkata pertandingannya akan berlangsung di sekolahnya. Aku kembali beralasan dengan berkata aku takut tidak diperbolehkan masuk karena tidak bersekolah disana. Davis justru tertawa kemudian berkata semuanya akan baik-baik saja selama aku bersamanya.
“Ayolah, Alice. Bersemangatlah.” Davis menyibak jaket yang kugunakan untuk menutupi wajahku, mata birunya masih fokus menatap jalan didepannya. “Jangan tidur, oke?”
Aku kembali menutup kepalaku dengan jaket. Hari ini terlalu cerah. Dan aku butuh tidur. Rasanya sangat lelah, bahkan tidur 4 hari belum cukup bagiku.
“Kalau kau mengantarku ke rumah sakit hari ini, mungkin aku akan bersemangat.” Aku mencoba memejamkan mataku kembali, namun suara Davis lagi-lagi membuatku gagal melakukannya.
“Ayolah, Alice, aku pasti akan mengantarkanmu kesana. Tapi tidak hari ini. Kau tahu kan, ini… penting bagiku.” Aku mencoba mengintip di balik jaketku, dan kali Davis menatapku seakan memohon. Bahkan aku baru sadar mobil ini berhenti karena ada lampu merah.
Aku benar-benar tidak bisa menolak setiap perkataannnya. Dia bahkan sudah seperti penyakitku yang tidak bisa kutolak kehadirannya.
“Ya ya ya. Terserah kau saja. Jangan ganggu aku sebelum sampai disekolahmu.”
Aku menghela nafas. Hari ini benar-benar akan menjadi hari yang paling melelahkan sekaligus menyenangkan. Selama 3 bulan lebih, aku hampir tak bersentuhan dengan dunia luar karena kemunculan penyakit ini. Aku selalu menghabiskan hari-hari dirumah untuk tidur, makan, mandi, menonton tv, kemudian tidur kembali. Davis membuatku melakukan sesuatu yang benar-benar berbeda kali ini. Aku akan menonton pertandingan basket. Aku akan menginjakkan kaki disekolah—walaupun bukan sekolahku. Ini luar biasa, rasanya seperti kembali normal untuk sesaat.
Percayalah, walaupun tubuhku menolak setengah mati dan memilih untuk tidur, namun ada sebagian hatiku yang merindukan kehidupan seperti ini lagi.
Tiba-tiba saja mobil berhenti. Padahal rasanya aku baru mulai bermimpi. Davis tiba-tiba saja sudah ada diluar mobil dan membukakan pintunya untukku. Mataku menyipit dan mengerjap berkali-kali sampai akhirnya aku mulai terbiasa.
Aku turun dari mobil dengan sempoyongan. Ketika kami berjalan, aku bisa merasakan tatapan aneh dari murid-murid disini. Banyak orang yang menyapa Davis sepanjang kami berjalan. Beberapa gadis seksi melewati kami lalu dengan serempak berkata, “Haii Davis..” Davis hanya mengangguk sambil melempar senyum dan mereka langsung cekikikan bersama.
Dia benar-benar beda. Davis berlagak seperti cowok cool disini, sedangkan dirumah dia benar-benar sangat menyebalkan.
Didepan gedung, dimana orang-orang keluar masuk, aku memperhatikan tulisan yang tertera disana.
Ini Mission. Salah satu sekolah terbaik di San Francisco.
Emma berdiri sambil sesekali melihat kearah jam tangannya. Ketika kami mulai mendekat, Emma seperti menghembuskan nafas lega melihat kami.
“Kenapa lama sekali? Pertandingannya setengah jam lagi. David bahkan sudah pergi untuk bersiap-siap.” Cerocos Emma ketika kami benar-benar berhadapan dengannya.
“Sorry, Alice sangat menyebalkan tadi.” Kali ini Davis malah menjawab seenak hatinya. Dia menoleh kearahku kemudian berkata, “Aku akan menyusul David, kau masuk ke dalam bersama Emma.”
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sleeping Beauty
Teen FictionIni cerita tentang Alice. Gadis berumur 16 tahun yang mengidap penyakit Syndrom Kleine-Levin. Kau tahu? itu penyakit langka. Kau bisa tertidur selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Tapi, suatu hari, ketika ia terbangun, ia be...