Satu mangkuk es krim dengan empat skup untuk mendinginkan otakku, satu cangkir kopi untuk meredakan kantukku, kentang goreng satu mangkuk besar, dan lima kue macaroon memenuhi mejaku. Semua untukku. Aku tidak mengingat David saat memesannya. Bahkan, aku tidak yakin masih ada yang tersisa saat David datang nanti. Mungkin aku akan tambah.
Beberapa orang yang datang memperhatikanku sekilas. Beberapa yang duduk membicarakanku. Aku tak terlalu ambil pusing karena aku pasti akan melakukan itu jika jadi mereka. Siapa yang tidak tahan untuk tidak bergosip ketika tiba-tiba ada cewek pincang dengan celana pendek dan jaket kebesaran, berambut singa, berbau entah sekecut apa dan tanpa alas kaki masuk ke dalam cafe lalu memesan banyak makanan. Dan ia sendirian. Dan makan seakan kesurupan. Dan kemudian merenung seperti patung seakan ini adalah hari terakhir hidupnya.
"Ya, mau pesan lagi?"
"Air."
"Air?"
"Air putih, segelas." Kataku. Aku butuh air untuk persiapan jika harus minum modafinil.
Gadis hitam yang menjadi pelayan tampak kecewa. Mungkin ia mengira aku akan menambah pesanan. "Oke, tunggu sebentar."
Pelayan itu pergi dan tak lama ponselku berbunyi. Ada panggilan masuk. Aku hampir terjungkal dari kursi ketika melihat nama Davis di sana. Aku hanya pergi ke kafe tapi aku merasa gugup seperti anak dibawah umur yang ketahuan pesta miras.
"Kau dimana?" Tanya Davis langsung. Bahkan ia tidak mengatakan halo.
Aku menelan ludaku. "Di kamar..."
"Kau yakin?"
"Tentu saja,"
"Sedang apa?"
"Tidur, mungkin..."
Kalimatku menggantung. Pintu kafe terbuka dan belnya berbunyi. Saat aku menoleh ke sana kurasa aku hampir pingsan karena Davis dengan kerennya masuk sambil memegang ponsel di telinganya. Ia menatapku tajam dan tanpa kusadari ia sudah duduk di depanku.
"Kau yakin?" Ia tidak mematikan panggilan kami, nada suaranya agak serius.
Ponselku masih di telinga ketika ia mematikan panggilan dan kemudian melihatku lurus-lurus. "Kau sedang tidur di rumah sekarang?"
Aku sudah terkena skakmat. Tak ada yang bisa kujadikan alasan untuk mengelak, jadi aku hanya tersenyum canggung sambil berkata, "Aku bilang, mungkin..."
"Oh, itu terdengar lucu tapi aku tidak bisa tertawa sekarang."
"Sorry," Kataku akhirnya. Aku memutus kontak mata dengannya dengan memakan kentang gorengku.
"Kenapa kau keluar rumah? Ah, tidak. Kenapa kau bahkan tidak bilang padaku kalau kau akan keluar dengan David?"
Aku mengerutkan alisku ketika mendengarnya. Tadinya aku bingung bagaimana ia tahu tentang David, tapi setelah kuingat David yang berteriak ketika ia menelponku tadi membuatku mengerti situasinya. Tunggu, kenapa Davis sudah di sini sedangkan David belum datang?
"Kau bolos?!" Aku membekap mulutku sangking kaget dan senangnya. Sedangkan cowok ganteng di depanku salah tingkah meskipun hanya beberapa detik. "Kau khawatir padaku sekarang?"
Ia berdehem, wajahnya terlihat serius. "Kau tahu hal gila selalu terjadi saat kau di luar. Bahkan kau hampir tidur di jalan, ingat? Berhenti lah merepotkanku, Alice. Kenapa kau seperti bayi, sih."
"Apa?"
"Kau sangat merepotkan."
Senyumku pudar. Moodku rusak. Perkataannya menusuk hatiku dan aku kesal seketika.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sleeping Beauty
Teen FictionIni cerita tentang Alice. Gadis berumur 16 tahun yang mengidap penyakit Syndrom Kleine-Levin. Kau tahu? itu penyakit langka. Kau bisa tertidur selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Tapi, suatu hari, ketika ia terbangun, ia be...