***
Aku memakan makan malam yang dimasak Mr.Josh dengan susah payah. Pikiranku melayang entah kemana. Dua hari tidur. Dua hari tanpa kabar. Dua hari jauh dari rumah. Aku tidak bisa membayangkan betapa paniknya Mom mengetahui anaknya tidak ada dimobilnya dan menghilang.
Yang pasti, aku harus pulang secepatnya sebelum Mom bertindak hal-hal aneh.
Kemudian Davis datang dengan membawa seorang cewek disampingnya. Lagi-lagi seumuran denganku. Ia membawa tas yang terlihat penuh barang didalamnya.
Davis berdehem lalu berkata, “Jadi, sebaiknya kalian berkenalan,” Ia menatap cewek disampingnya, “Nah, Emma, perkenalkan, ini…” Davis terlihat berpikir keras, dan itu membuatku menahan tawaku yang siap meledak kapan saja. Ada jeda sekitar semenit, sampai akhirnya ia mengembuskan nafasnya dan beralih menatapku kesal.
Tentu saja, bahkan kami sendiri belum berkenalan sejak tadi siang. Jelas dia tidak tahu namaku.
“Alice.” kataku sesopan mungkin. Aku dan Emma saling berjabat tangan dan saling melempar senyum walaupun canggung.
“Aku membawakanmu baju, kata Davis kau akan tinggal disini sementara, kurasa ini akan berguna karena semua penghuni disini laki-laki.” Kata Emma. Ia tersenyum sangat manis hingga menampilkan lesung pipitnya. Ia menyerahkan tas yang berisi baju kepadaku dan aku menerimanya dengan senang hati.
“Jadi, mari kita bicarakan tentang Alice.” Mr.Josh yang telah selesai dengan kegiatannya didapur-mencuci piring- mendatangi kami yang sudah berkumpul di ruang tv. Aku tentunya sudah dalam keadaan yang jauh lebih baik. Bahkan, aku sudah memakai baju yang diberikan Emma padaku.
“Jadi? Kapan aku bisa pulang?” Tanyaku antusias.
Aku berkata bahwa sebaiknya lebih baik pergi ke kantor polisi untuk mencari alamat rumahku, tapi kemudian Davis berkata, “Dad seorang polisi, untuk apa lapor polisi lagi?” Aku akhirnya diam. Kalah telak. Davis berkata bahwa sebaiknya kami membuat poster dengan fotoku diatasnya kemudian menyebarkannya di jalan. Emma bilang itu terlalu berlebihan. Mr. Josh setuju dengan pendapat Emma. Dan itu membuat Davis mengerucutkan bibirnya.
Sungguh, aku tidak bisa menahan tawaku. Jadi aku tertawa dengan keras. Intinya, kami sama-sama kalah.
“Aku berpikir untuk mengunjungi rumah sakit, karena disana awal semuanya terjadi.” Usul Mr. Josh setelah berpikir keras hingga dahinya memiliki kerutan yang berlebih. Kami setuju sambil menganggukkan kepala.
“Tapi, aku tidak bisa menemanimu kesana. Besok pagi aku akan keluar kota. Jadi, kau bisa ditemani Davis, oke?”
“Oke.”
“Aku tidak mau.” Suara Davis menggema diruangan ini. Aku menoleh kearahnya. Menatapnya sengit. Sampai akhirnya dia berkata—dengan terpaksa, “Oke, tapi tidak bisa besok. Aku sekolah.”
Ketika mendengar jawabannya, aku tersenyum. Sangat lebar hingga deretan gigi-gigiku tampil cemerlang.
***
Kukira ketika aku tidur tadi malam, aku akan bangun setelah beberapa hari. Tapi ternyata, setelah bangun dan melihat tanggal hari ini, aku bisa bernafas lega.
Setidaknya, waktuku tidak terbuang seperti biasanya.
Hanya saja, kali ini jam sudah menunjukkan jam 10 pagi dan tidak ada siapapun dirumah ini. Kalau dirumahku sendiri, sesiang apapun aku bangun, Mom selalu ada untukku.
Ah, aku ingin cepat-cepat pulang.
Aku berkeliling rumah Davis dan ayahnya sampai pusing karena bosan. Bahkan aku juga membereskan rumah ini sebisanya. Aku bahkan jadi tahu ternyata kamar Davis bersebelahan dengan kamarku. Ketika kubuka, aku hanya bisa menggeleng-geleng melihatnya.
Benar-benar seperti kapal pecah.
Kamar Davis lebih besar daripada kamarku. Tentu saja, ini kan rumahnya. Banyak poster band-band yang tidak kukenal yang menempel disana. Buku-buku berserakkan dilantai dan dimeja. Kebanyakan adalah buku biologi. Oh, ada juga bola basket disamping ranjangnya. Namun, ada satu hal yang menarik perhatianku. Beberapa bingkai foto berdiri disana. Ada foto ayah dan ibunya Davis. Seingatku, selama aku tinggal disini, aku tak pernah bertemu ibunya Davis. Jadi, aku berniat akan menanyakannya nanti ketika Davis pulang.
Ada foto Davis dengan teman cowoknya sambil memegang bola basket. Dan juga, ada foto Davis dengan Emma. Berdua. Saling memamerkan gigi mereka yang berbaris rata.
Aku jadi tahu, ternyata Davis suka pelajaran biologi. Davis juga suka basket. Dan mungkin, Davis dan Emma berpacaran.
Memikirkannya saja membuatku mengantuk seketika. Bagaimana jika mereka benar-benar berpacaran?
Oh, Alice. Memang apa perdulimu?
Aku menjauh dari meja, beralih menuju bola basket yang ada disamping ranjang. Mendriblenya beberapa kali sampai rasanya keringatku sudah bercucuran. Tapi malah aku semakin mengantuk. Pandanganku mulai berputar-putar.
Gejalanya seperti terkena obat bius ketika tiba-tiba Syndrome Kleine-Levin mulai kambuh. Kalau sudah begini, sudah dipastikan aku akan benar-benar tidur dalam beberapa menit. Aku berhenti bermain bola basket dan berencana untuk menaiki ranjang Davis. Masa bodoh kalau dia mengomel padaku.
“Alice?” itu suara Davis. Terdengar jauh. Mungkin dia berada dilantai satu. Dia sudah pulang, bahkan membawa tamu bersamanya. Omongan ringan mereka terdengar sampai ditelingaku.
Aku tidak tahu kenapa, pikiranku bersikeras untuk mengacuhkan panggilan Davis. Namun, badanku justru bergerak menuju pintu dan membukanya. Terpaksa aku harus berpegangan dinding selama aku berjalan agar tidak jatuh. Ketika munuruni tangga, aku kembali berpegangan.
Hanya sekita 4 atau 5 anak tangga lagi, namun aku benar-benar tidak tahan. Peganganku terlepas dan aku terjun bebas sampai kelantai. Namun aku bersyukur karena ketika aku jatuh, jarak antara tangga dan lantai cukup rendah. Jadi, walaupun aku merasakan sakit disekitar jidatku, setidaknya tidak akan menumbulkan kematian.
“Ya Tuhan! Davis cepat kesini, bantu aku!” ada suara orang asing yang bergema ditelingaku. Aku tidak bisa membuka mataku untuk melihatnya. Rasanya seperti ada lem yang menemel dimataku.
Yang kudengar selajutnya adalah suara Davis yang datang sambil mengumpat panik. Semakin samar dan samar, sampai akhirnya tidak terdengar sama sekali.
***
Haduhh, sumpah gaje banget ya chapter yang ini -__- udah mendem lama-lama dikamar kaya ayam jagain telor tetep aja gak ada imajinasi yg terlintas. Jadinya begini deh.. maklumin yaa :') .. masih kecil, masih amatir, masih belajar, masih banyak kekurangannya, masih bla bla bla XD
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sleeping Beauty
Teen FictionIni cerita tentang Alice. Gadis berumur 16 tahun yang mengidap penyakit Syndrom Kleine-Levin. Kau tahu? itu penyakit langka. Kau bisa tertidur selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Tapi, suatu hari, ketika ia terbangun, ia be...