8

19.2K 1.3K 60
                                    

“Hey,”

Senyumku mengembang ketika lagi-lagi wajah Davis yang pertama kulihat ketika mataku mulai terjaga. Seluruh badanku pegal. Mataku langsung bergerak liar ketika samar-samar ingatanku kembali segar. Ini bukan di toilet. Aku selamat.

“Kau… sudah baikan?” Davis menatapku lekat. Mata birunya benar-benar terlihat jelas sampai-sampai aku semakin meleleh. Aku mengangguk mengiyakan, namun Davis justru memegang keningku, memberikan sensasi ekstrim bagi jantungku.

“Panas.” Katanya. Dahinya mengeryit.

 Aku menggeleng dengan senyuman yang tidak luntur sedari tadi. “Aku baik-baik saja.”

Aku baik-baik saja selama aku melihat Davis setiap aku membuka mata.

Berapa lama?

Ketika 2 kata itu terlintas dipikiranku, aku refleks menggerakkan tanganku ke arah meja kecil di samping ranjang, menggapai-gapai kalender yang biasa kucoret-coret. Namun Davis mengambilnya terlebih dahulu, kemudian menyembunyikan benda itu dibalik punggungnya.

“Umm, sebaiknya kau tidak melihatnya.”

Aku mengerutkan dahi. “Kenapa?” Aku perlu tahu berapa lama aku tertidur.

“Akan kuberitahu berapa hari.”

Aku bangkit dari tidur, mengubah posisi menjadi duduk. Kakiku masih enggan untuk melompat turun dan menyentuh lantai. Aku pun masih malas untuk menyingkirkan selimutku.

“Oke, berapa hari?” Tanyaku. Davis diam. Tampak berpikir seperti mengulur waktu. “Davis?”

Davis tampak ragu. “16 hari?”

16 hari. Aku bahkan pernah lebih lama dari itu. Seharusnya aku biasa saja, namun aku malah melongo. Otakku terus memproses ’16 hari’ seperti soal yang harus di selesaikan dengan rumus matematika. Dan ketika aku menemukan jawabannya, aku langsung memukul perut Davis sehingga dia melonjak kaget. Tangannya bergelantungan bebas di udara, dan pada saat itu aku merebut kalenderku dari tangannya.

16 hari. 2 minggu lebih aku tidur. Padahal, setahuku sudah 2 minggu  aku tinggal disini. Berarti sudah sebulan aku tidak pulang.

“APA!!!” Aku berteriak seperti orang sinting. Bagiku yang tidur, satu bulan terasa seperti satu hari tidur. Namun bagi Mom yang menungguku, satu bulan adalah waktu yang sangat lama.

“Kau! Bagaimana bisa aku tidur selama itu! Seharusnya kau bangunkan aku!”

Davis nyengir. “Alice, tenang, oke? Jangan marah-marah dulu. Kau masih panas. Lihat? Bahkan aku bisa melihat uap keluar dari kepalamu.”

Rasanya aku ingin mencakar wajah tampannya sekarang juga. Sudah tak kunjung mengantarku pulang, mengejekku pula.

“Kau menyebalkan.” Desisku. Tangan sebelah kiriku sudah menarik lengannya dan aku hampir menjangkau wajahnya ketika pintu kamar di buka dengan kerasnya. Rencanaku gagal. Aku justru malah memekik sangking kagetnya. Dan pekikanku semakin keras ketika mengetahui David berdiri di ambang pintu itu.

Astaga! Kenapa cowok sinting itu ada disini!

Aku menutup telingaku dengan tangan ketika David balas memekik. “Oh sweetie! Kau, hik, sudah, hik, bangun!”

Ya Tuhan, bahkan dia mabuk!

David mulai berjalan masuk sempoyongan dan hampir jatuh berkali-kali. Bau alkohol menyeruak dengan cepat begitu dia berdiri di samping Davis. Davis menahannya agar tidak jatuh, namun David langsung menepisnya sambil berkata bahwa dia tidak mabuk. Kemudian dia menatapku dengan mata sayunya yang seolah sedang berbinar.

My Sleeping BeautyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang