10

19.1K 1.2K 91
                                    

Aku masih berusaha mengumpulkan nyawaku pagi ini ketika suara mobil Davis menyeruak ke telingaku. Langit-langit kamar selalu hal pertama ku tatap beberapa hari ini. Bukan Davis. Ia terlalu sibuk dengan sekolahnya hingga aku jarang melihatnya. Ia pergi jam 7 dan kembali ke rumah malam hari. Aku tidak tahu apa yang dikerjakannya, tapi itu membuatku kesepian.

Tidak ada Emma di ranjangku. Ia hanya menginap satu malam dan itu sudah berlalu sejak 3 hari yang lalu. Sampai sekarang, aku masih penasaran tentang mimpinya malam itu, tapi aku belum sempat bertemu dengannya untuk bertanya.

Ketika aku membuka pintu kamar dan turun ke lantai bawah, semuanya sudah pergi. Kosong dan sunyi. Cuma ada pancake di atas meja yang sudah dingin. Aku tahu Mr. Josh yang membuatnya. Aku juga jarang melihatnya karena ia selalu pergi lebih pagi dari Davis.

Aku sudah menghabiskan pancake dalam diam dan hampir tertidur di meja makan. Sebenarnya, aku sedang menunggu seseorang. Tapi tidak ada tanda-tanda pintu terketuk.

“Alice!”

Mataku segar seketika. Aku berlari menuju pintu depan dan membukanya. Ada Sammy disana. Bocah itu tersenyum sangat lebar hingga aku pun tidak tahan untuk tersenyum tak kalah lebar. Baru-baru ini Sammy mencabut giginya. Sekarang, 2 gigi seri Sammy di bagian atas sudah menghilang, dan itu membuatnya sangat lucu ketika tersenyum.

“Hai, Sammy!” kataku. “Hari ini kita main apa?”

“Aku ingin basket dulu.” Katanya tak berhenti senyum. Aku mengangguk kemudian berlari masuk. Aku membuka pintu kamar Davis dan mengambil bola basketnya. Sebelum keluar, aku merapikan tempat tidurnya. Kamar Davis memang selalu seperti kapal pecah.

Omong-omong, sekarang aku berteman sangat akrab dengan bocah 5 tahun ini. Dia selalu datang ke rumah setiap jam 9 pagi dan bermain bersamaku sampai tengah hari. Rasanya seperti kembali menjadi anak-anak ketika aku bermain bersama Sammy. Kami selalu tak kehabisan akal ketika bosan bermain satu permainan. Kami bermain basket, petak umpet, kejar-kejaran, ular tangga, video game, bahkan aku tak keberatan ikut bermain robot-robotan ketika ia membawa semua koleksi robotnya kemarin.

Karena kami sama-sama kesepian di rumah masing-masing, kami juga sama-sama senang ketika bermain seperti ini.

“Sammy, kau… juga sering main dengan Emma?” tanyaku setelah selesai mewarnai gambar pegunungan yang kubuat. Tadi kami sudah bermain basket, tapi setelah setengah jam Sammy merasa bosan. Jadilah kami menggambar di ruang keluarga setelah aku berhasil menemukan kertas dan spidol berwarna dari kamar Davis.

Sammy menggeleng. Matanya tetap fokus dengan gambar mobil yang di warnainya. “Tidak. Emma sekolah pagi. Pulang sekolah ia masuk kamar dan tidak keluar. ia akan keluar jika bibi memanggilnya untuk makan.”

“Oh.. kalau Bibi Alma?”

Sammy menggeleng lagi. Aku menatap miris ke arahnya yang masih sibuk dengan gambarannya.

 “Kau… punya teman?” tanyaku hati-hati. Sammy lagi-lagi menggeleng. Aku menatapnya heran. “Kau tidak sekolah?”

Ia menggeleng sekali lagi.

“Kata bibi, aku masuk SD tahun depan.” Katanya. Gambarnya telah selesai dan kini bocah itu menatapku. Ia kembali tersenyum. “Tapi, kalau aku punya teman nanti, kau tetap jadi temanku yang paling keren!”

Aku balas menatapnya. Takjub. “Benarkah?”

Sammy mengangguk pasti. “Ya. Kau teman paling keren selamanya.”

“Kalau aku pulang, bagaimana? Kau tidak bisa main denganku lagi nanti.”

“Aku tahu,” balasnya. “Makanya aku tidak akan melupakanmu.”

My Sleeping BeautyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang