11

17.8K 1.2K 130
                                    

David terus bersiul-siul tak jelas sambil menyetir mobilnya. Ia terus mengatakan “Terima kasih, sweetie. Kau memang baik!” atau “Aku tidak percaya kau mau jalan denganku!” atau “Ini seperti keajaiban!” atau… ah, sudahlah, aku tak mau menjabarkannya.

Entah ia terlalu bersemangat atau memang cara mengemudinya yang agak ekstrim, tapi yang jelas, ia melajukan mobil ini terlalu cepat. Ini seperti di film-film. Ia menyelip mobil-mobil lain sambil terus bersiul. Aku menahan napasku ketika ia menyelip truk tronton karena menurutnya truk itu terlalu lambat.

Oh, aku lupa. Ia agak gila.

“David!” aku menegurnya untuk kesekian kalinya. Rasanya badanku nyaris terbang sangking lajunya. Rambutku kembali seperti singa ketika aku melihatnya dari spion. Percuma aku bersisir sebelum pergi.

Aku ketakutan. Keringat dingin sudah keluar dari tubuhku dan itu bukan hal yang bagus. Jantungku nyaris berhenti kapan saja saat ini.

“David kau gila! Ini terlalu laju!”

David menoleh ke arahku. Ia menatapku cengengesan sebelum akhirnya kembali fokus ke jalan. “Ups, maaf, sweetie.”

Aku memutar bola mataku frustasi. Ketika aku kembali meliriknya, ia makin tersenyum tak jelas seperti orang gila. Andai saja ia tidak memohon-mohon sambil berlutut di depan rumah, aku sudah menendangnya pergi dan mengunci rumah Davis rapat-rapat. Bayangkan saja, seorang wanita yang tinggal di depan rumah Davis langsung memperhatikan kami dan membiarkan bunganya menerima pasokan air berlebih. Seorang pria setengah abad yang ada di sana—sepertinya suaminya—memalingkan matanya dari korannya dan ikut memperhatikan kami. Dua orang itu terkikik dan berbicara entah apa sambil terus melirik kami. Dan pada saat seorang tukang pos memberhentikan sepedanya di depan rumah, aku langsung mengatakan ‘YA’ - sebelum penonton kami makin bertambah- sehingga membuat David normal kembali.

Ini pilihan yang sulit, tahu.

Aku yakin David yang cukup populer dan tampan ini pasti mengerti betul rambu-rambu lalu lintas. Aku yakin ia bukan balita yang belum bisa membedakan lampu merah merah, kuning, atau hijau. Namun kenyataannya, ketika kami berada di perempatan, ia mengerem mendadak dengan panik. Tubuhku terpental ke depan meski aku sudah menggunakan sabuk pengaman dan mencengkram kulit kursi yang ku duduki.

Aku bersumpah organ tubuhku berdisko ria di dalam sana. Jantungku melompat lompat dan rasa mual langsung datang menghampiriku. Astaga. Aku bisa mati muda kalau begini caranya.

“Fiuh, untung saja. Aku tak sadar lampu merah!” katanya heboh. “Kau OK, sweetie?”

Aku tertawa garing, “Setidaknya, aku masih hidup.”

“Itu bagus!” David malah ikut tertawa. Ketika lampu itu berubah hijau, ia langsung menancap gas.

Ya ampun, tadi itu sindiran! Dasar David bodoh.

“Jadi, kita mau kemana?” tanyaku.

“Aku ingin mengajakmu bertemu teman-teman satu timku. Sekalian merayakan kemenangan kami.” balasnya. Ia tersenyum sangat lebar.

“Pertandingan yang mana? Kau tanding lagi?”

“Tidak.” Ia menggeleng. “Kami akan merayakan kemangan kami atas pertandingan sebulan yang lalu, kau ingat? Ketika kau menotonnya dan ehmm, inisiden kecil terjadi padamu.”

Sebenarnya aku sudah lupa bahkan tak ingat lagi dengan kejadian waktu itu. Tapi ketika David menyinggungnya kembali, entah mengapa bau kamar mandi langsung terbayang dan itu membuatku semakin mual.

“Itu… sebulan yang lalu kan? Kalian baru akan merayakannya sekarang? Haha, benar-benar lucu.” sahutku refleks.

David langsung memberhentikan mobilnya—lebih tepatnya mengerem mendadak. Aku kembali terpental ke depan dan langsung melotot kearahnya. Aku sudah berniat untuk menyemburkan omelanku namun tertahan karena ia mentapku dengan lembut.

My Sleeping BeautyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang