Siang ini benar-benar menyedihkan. Pokoknya, aku merasa serba salah sepanjang hari ini.
Emma akan menginap disini. Oh, Sammy juga ikut. Tapi tanpa Katty—kucing mereka. Mr. Josh memberitahuku dengan jelas bahwa disini hanya ada 3 kamar. Kamarnya, kamar Davis, dan kamar yang kutempati. Jadi, otomatis aku harus berbagi kamar dengan Emma, sedangkan Sammy tidur di kamar Davis.
Masalahnya, apa aku tahan bersama Emma? Jelas-jelas, dibalik hubungan pertemanan kami yang cukup baik, secara tidak langsung kami ini saingan!
Dan sepanjang pengamatanku kepadanya, aku sama sekali tidak bisa menebak suasana hatinya. Dia selalu tersenyum sepanjang hari dan bersikap (sangat) baik ke semua orang. Ia tidak pernah bertingkah menyebalkan. Bahkan sampai sekarang aku belum bisa melupakan lezatnya masakan yang ia buat.
Kesannya, aku seperti tokoh antagonis di film-film drama. Jelas-jelas Emma mengatakan kalau ia menyukai Davis sejak sd. Nyatanya aku yang notabennya orang asing yang tiba-tiba muncul, diam-diam menyukai Davis juga.
Tapi mau bagaimana lagi. Memangnya orang yang jatuh cinta bisa dihentikan? Ha! Mana bisa. Aku akan berjuang sampai titik darah penghabisan.
Oke, aku tahu itu berlebihan.
“Alice, ayo kita main basket lagi!” Itu Sammy. Dia berlari menuruni tangga sambil membawa bola basket di tangannya. Tanpa harus bertanya, aku sudah tahu bola itu dari kamar Davis.
“Aku tidak bisa, Sammy. Aku sedang tidak enak badan.”
Anak itu justru menarik tanganku. “Oh, ayolah, sebentar saja.”
“Sammy,” Emma menyahut. Suaranya sangat lembut, namun Sammy tetap cemberut.
“Bagaimana kalau kita main video game saja?” Usul Davis tiba-tiba. Ia berjalan menuruni tangga menuju kami. “Lagipula, sepertinya sebentar lagi hujan.”
Jadilah kami berempat duduk di ruang keluarga rumah ini. Sammy dan Davis bermain berdua hampir setengah jam tanpa perduli padaku dan Emma yang hanya menatap layar televisi yang menapilkan 2 mobil yang balapan hingga bosan. Ralat. Hanya aku yang bosan. Emma sesekali bermain membantu Sammy yang kesulitan ketika mobilnya ketinggalan jauh dari Davis.
Hujan mulai turun dan itu semakin membuatku bosan. Davis berkali-kali mengajakku bermain namun aku menolaknya berkali-kali juga. Aku tahu Emma selalu mencuri pandang kepada Davis meskipun ia disibukkan dengan Sammy. Dan aku tidak mau mencari perhatian Davis di depannya hingga membuatnya cemburu dan curiga padaku. Aku bukan jalang.
“Emma, gantikan aku. Aku mau pipis.” Sammy menyerahkan joystick kepada Emma dan berlari kekamar mandi di lantai bawah yang entah dimana letaknya. Sejujurnya, walaupun aku sudah sebulan disini, hanya beberapa tempat yang ku tahu letaknya meski aku sudah berkeliling pada hari pertama.
Sekarang tinggal kami bertiga.
“Alice, kau mau main juga? Aku bisa meminjamkanmu.” Davis menyahut. Aku mengerjapkan mataku, lalu menoleh ke arah Emma sekilas. Siapa tahu, ekspresinya berubah ketus atau apa. Namun nyatanya ia tetap tersenyum, seakan mengajakku ikut bermain.
Emma tidak tahu apa-apa. Polos.
Aku harus mencari perhatian Davis.
Otakku mulai bekerja lagi mencari-cari alasan. Dan saat itu juga David turun dari tangga dengan muka yang… berantakkan. Rambutnya acak-acakan dan air liurnya masih menempel disekitar mulutnya. Entah melihat kami atau tidak, David justru langsung berjalan ke arah pintu keluar.
“Tidak usah, Davis. Aku bosan. Aku.. akan keluar sebentar.” Kataku. Davis menengok ke arah pintu. Ada David disana, membelakangi kami.
Kukira, Davis akan melarangku dan memaksaku agar tetap bermain. Atau paling tidak, menanyakan untuk apa aku keluar. Davis justru mengangguk ke arahku, mengangkat bahunya dan berbalik ke arah layar televisi. “Oh, oke. Terserah kau saja.”
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sleeping Beauty
Teen FictionIni cerita tentang Alice. Gadis berumur 16 tahun yang mengidap penyakit Syndrom Kleine-Levin. Kau tahu? itu penyakit langka. Kau bisa tertidur selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Tapi, suatu hari, ketika ia terbangun, ia be...