25

5.9K 647 113
                                    

Davis tetap memegang tanganku saat kami ke kamar Mr. Josh untuk mencari lampu darurat. Aku bisa merasakan tangannya yang mulai berkeringat, aku juga bisa merasakan tangannya yang dua kali lebih besar dariku. Dan aku sangat menyesal karena aku baru menyadari hal-hal seperti ini.

Kami berputar-putar di kamar Mr. Josh selama hampir 10 menit dan akhirnya berhasil menemukan benda itu. Davis menyalakan lampu itu tapi sialnya mati saat kami sedang naik tangga. Davis refleks mengumpat karena ternyata Mr. Josh tidak pernah lagi mengisi baterai lampu itu. Aku secepat kilat menyalakan ponselku lagi.

Kami akhirnya pergi ke ruang keluarga. Kami tidak berjalan berdampingan meski berpegangan tangan. Davis di depan, dan aku mengekorinya seperti anak bebek. Davis mengambil lilin di salah satu bupet, tapi sayangnya tidak ada korek api, jadi kami perlu ke dapur dulu.

"Kau bisa tunggu di sini jika mau." Kata Davis. Mungkin ia mengira aku kelelahan karena aku terlihat seperti orang sesak napas. Memang benar kalau aku lelah mengekori Davis, aku juga sering kaget sendiri tanpa alasan dan terus-terusan menengok kanan-kiri karena waspada hantu dan itu memang juga menguras tenaga.

Tapi lihat sisi positifnya. Kapan lagi aku bisa bergandengan tangan dengan Davis? Haha!

Aku menggeleng. "Kita ke dapur sama-sama saja."

"Takut?"

Aku membuang muka. "Ya."

Untung sekarang minim cahaya, setidaknya aku tidak perlu menutup muka dengan tanganku untuk menyembunyikan warna merah di pipiku.

Davis menyerahkan satu lilin untukku saat kami sudah di depan pintu kamarku. Aku sempat menatap wajahnya sebentar sebelum mengambilnya. Bahkan walaupun diterangi cahaya redup, biru matanya tetap sama dimataku.

"Kau perlu lilin lagi?" Katanya. Saat itu aku hanya diam sambil menatap lilin yang kupengang. Mungkin Davis bingung kenapa aku tidak masuk ke kamar, atau mungkin dia ingin cepat-cepat masuk kamarnya alih-alih berdiri di depanku.

"Tidak," Kataku. Aku memasang senyum. "Selamat malam."

Ia membalas senyumku. "Selamat malam."

Aku tahu percakapan kita sudah berakhir, tapi rasanya lebih baik jika Davis langsung pergi ke kamarnya tanpa menungguku masuk ke kamar. Karena jika ia bersikap begitu, aku jadi merasa ia menghkawatirkanku.

Cahaya lilin tidak benar-benar menerangi seluruh sudut kamarku. Aku menatap langit-langit untuk waktu yang lama karena tidak bisa tidur. Sesekali aku menengok ke sisi gelap kamarku untuk memastikan tidak ada hal yang aneh.

Aku memajamkan mataku berkali-kali untuk tidur, tapi setiap kali aku melakukan itu, rasanya seperti ada yang datang ke arahku dan itu membuatku terus terjaga.

Aku dan suasana gelap tidak berteman saat aku sadar.

Tuhan tidak mengabulkan doaku meski aku sudah berdoa berkali-kali agar listrik segera nyala. Aku merasa ini sudah terlalu malam padahal jam masih menunjukan pukul setengah 11.

Oh, aku tidak tahan lagi.

"Apa?"

Itu yang Davis katakan setelah aku mengetuk pintu kamarnya.

Aku tersenyum canggung sambil menempatkan lilin tepat di depan mukaku agar Davis tidak melihatnya. Davis mulai terkekeh, tanpa aku sadari ia sudah membuka pintu kamarnya lebar-lebar.

"Aku tahu kau akan melakukan ini," Katanya saat aku sudah masuk ke kamarnya. Ya Tuhan, dia percaya diri sekali!

"Aku betulan takut."

My Sleeping BeautyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang