Ada Davis. Berdiri tidak jauh dari ranjangku. Mata birunya menatap keluar jendela.
Dia objek yang pertama kulihat ketika aku benar-benar terjaga. Ketika aku bangun, dia menoleh, kemudian berjalan mendekat.
“Hey,” Katanya. Lalu dia mengelus plester yang menempel di dahiku. “Apa.. masih sakit?”
Bahkan, aku tidak sadar benda itu menempel di dahiku. “Tidak.”
Seketika dia tersenyum. Oh Tuhan, semoga pipiku tidak merah.
“Berapa hari?” tanyaku refleks begitu sadar kalau aku baru saja bangun. Davis menjauhkan jarinya, lalu menjawab, “3 hari. Oh man, aku bahkan sudah berencana menelpon Dad jika kau tak bangun hari ini. Sebenarnya kau tidur atau pingsan?”
“Mungkin aku tidur dan pingsan pada saat yang sama.” Kataku. Kami langsung tertawa bersama.
Kalau dipikir-pikir, sejak kapan kami jadi akrab begini?
“Bahkan kau sama sekali tidak bangun untuk makan atau ke kamar mandi. Kalau boleh jujur, kau bau.” Davis menutup hidungnya. Aku merengut seketika. “Ini tidak lucu, Davis.”
Ada jeda. Sangat lama hingga aku sempat menggigit kuku jariku sendiri. Ini tidak menyenangkan. Yang kudengar hanyalah suara detak jantungku sendiri yang sepertinya terlalu keras memompa darah.
Oh, Alice, ada apa denganmu?
Ini tidak benar. Aku berpikir keras untuk mencari topik pembicaraan yang dapat membuat kami bisa tertawa seperti beberapa menit yang lalu. Tapi tak kunjung muncul. Pikiranku tersendat, sepertinya.
“Tadi aku, maksudku 3 hari yang lalu, aku membersihkan kamarmu.” Akhirnya suaraku bergema, rasanya aku seperti berbisik, namun Davis langsung menoleh kearahku.
“Oh ya? Thanks. Pasti sangat berantakkan.”
“Seperti kapal pecah.” Jawabku sambil terkekeh. Lalu aku teringat sesuatu. “Oh ya, aku melihat foto orang tuamu disana. Kemana ibumu? Aku tak pernah melihatnya.”
Tadinya, ketika melihatku terkekeh, dia tersenyum. Setelah aku bertanya, mukanya berubah kusut. Sama seperti baju yang belum disetrika.
“Mom dan Dad cerai. Kudengar, Mom sudah menikah dengan pria lain. Pemilik bank di Paris. Jauh lebih kaya dibandingkan Dad.”
Memang benar ternyata, penyesalan itu selalu datang terakhir. Kalau jawabannya seperti ini, aku pasti tidak akan pernah menanyakan apapun tentang ibunya Davis.
Tapi bodohnya, aku tidak mengatakan maaf padanya. Aku diam saja. Sebenarnya, aku ingin bertanya tentang Emma, tapi aku takut untuk mengatakannya. Apalagi tadi aku sudah menyinggung soal ibunya.
Ibu? Mom?
“Davis!!” aku berteriak sambil mengambil kalender diatas meja dengan cepat. Selama aku tinggal disini, aku selalu melingkari tanggal ketika aku terjaga. 3 hari. Sekarang hari sabtu. Seharusnya Davis mengantarkanku ke rumah sakit.
Hari ini aku bisa pulang!
“Ayo ke rumah sakit!” aku makin berteriak dengan semangat sambil mencengkram lengannya. Muka Davis berubah semakin kusut. Kali ini seperti benang layang-layang yang tidak pernah digulung.
“Tidak. Bisa. Aku ada urusan.” Katanya kemudian. Davis langsung berjalan cepat keluar dari kamarku. Lalu aku mendengar suara pintu rumah terbuka, kemudian tertutup lagi. Kemudian suara mesin mobil yang semakin menjauh.
Davis pergi.
Aku bahkan belum menginjakkan kakiku dilantai sama sekali untuk mengejarnya. Tidak. Bahkan aku tidak berpikir untuk mengejarnya sama sekali. Aku terlalu kaget dengan reaksinya.
Ada apa?
***
Kejadian itu sudah berlangsung 2 hari yang lalu. Dan aku tidak berniat untuk menanyakannya pada Davis. Yang terpenting, semuanya berjalan normal-normal saja. Sekarang hari sudah kembali ke Senin. Berarti aku harus menunggu lebih lama lagi untuk pulang.
Untungnya, penyakitku tidak kambuh selama 2 hari ini.
Siang ini aku menunggu Davis sambil bermain basket di halaman depan rumahnya. Bola basket itu kucuri dari kamar Davis. Omong-omong, aku baru tahu kalau di halaman ini ada ring basket. Aku bermain sendirian selama 10 menit. Namun karena aku kelelahan, akhirnya aku duduk dan hanya memutar-mutar bola itu di lantai.
Aku bahkan sudah mengantuk lagi. Bahkan hampir menutup mataku. Namun ketika suara mobil Davis terdengar. Entah ada angin dari mana, mataku terasa segar kembali.
Tapi bukan Davis yang mendatangiku. Seorang cowok—entah siapa—tiba-tiba membungkuk dan mengulurkan tangannya padaku.
“Perlu bantuan, sweetie?” Tanyanya khas orang mesum. Namun, karena tidak enak hati, aku akhirnya mengait tangannya agar dapat berdiri. Setelah diperhatikan, aku ingat wajahnya sama persis dengan salah satu foto yang ada di kamar Davis. Yang memegang bola basket.
Mungkin karena terlalu lama kuperhatikan atau apa, kali ini wajahnya makin terlihat mesum daripada sebelumnya. Aku mengalihkan pandanganku. Pada saat yang sama aku melihat Emma keluar dari rumah yang ada disamping dan berjalan menuju ke rumah ini.
Saat mata kami bertemu, dia langsung tersenyum sambil mengangkat kantong plastik yang dibawanya. Aku sudah mengerti maksudnya. Dia yang akan memasak makanan untuk kami selama Mr. Josh belum pulang.
Pantas saja Emma bisa kerumah tiap siang.
“Hey, sweetie, kau lihat apa?” Suara cowok itu membuatku terpaksa harus kembali melihatnya. Pasalnya, kali ini dia memegang daguku!
Aku menepisnya tangannya, lalu menatapnya dengan tatapan 'berani-macam-macam-akan-kubunuh-kau'.
“Aku bercanda, sweetie. Jangan marah. Oh ya, kenalkan, aku David.” Tangannya kembali meraih tanganku.Kali ini, aku hampir meledak saat dia dengan beraninya mencium telapak tanganku. Tapi justru perkataan selanjutnya membuatku hampir tak percaya. “Aku dan Davis sudah bersahabat sejak kami masih memakai popok.”
Ya Tuhan, Bagaimana bisa Davis bersahabat dengan cowok sinting seperti dia?
***
Ahaaa! chapter 3 update nih :3
Semoga gak gaje ya ceritanya xD
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sleeping Beauty
Teen FictionIni cerita tentang Alice. Gadis berumur 16 tahun yang mengidap penyakit Syndrom Kleine-Levin. Kau tahu? itu penyakit langka. Kau bisa tertidur selama berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Tapi, suatu hari, ketika ia terbangun, ia be...