BAB 1

101 11 7
                                    

Menyandang Queen Bee saat sudah kelas Xll bukan sesuatu yang bagus tentunya. Setidaknya, bagi Elina tidak ada yang lebih melelahkan selain menghadapi topeng-topeng temannya, menjadi seseorang yang ditakuti tanpa berbuat tindak kriminal, dan menjadi seseorang yang dipuja tanpa melakukan sesuatu yang menurutnya perbuatan mulia.

Padahal hanya satu yang Elina inginkan, fokus dengan nilainya.

Dan dirinya, Elina Tunga Dewi memutuskan untuk melewati semuanya sendirian. Bukan menjadi seseorang yang tidak terlihat, karena hal itu sangat tidak mungkin baginya. Jadi dia akan menjadi seseorang yang tidak terjangkau.

Setidaknya, begitulah penilaian mereka terhadapnya, terhadap seorang pentolan SMA Nusa Tunga.

"El!" Panggil seseorang melambai kearah Elina, membuatnya sukses menoleh hanya untuk melihat betapa bangganya Vanesia bergelanyut manja di lengan Alden.

Sesungguhnya, bila name tag cewek itu tidak terjahit rapi di seragam ketatnya, atau teriakan yang memanggilnya EL --hanya murid SMA Nusa Tunga yang menyebutnya demikian. Dia pasti sudah lupa nama temannya.

Sepertinya gelar teman terlalu tinggi untuknya.

Tidak ada yang serius menjadi teman Elina, mereka hanya mencari kepuasan bisa disejajarkan seorang Queen bee sekolah, dan Elina tau itu.

Semuanya Palsu.

"Lo gak masalahkan sendiri pulangnya? Gue hari ini pulang sama Alden." Vanesia melemparkan senyumnya.

Senyum itu juga palsu.

Elina balas tersenyum, senyum antagonis andai Vanesia cukup pintar untuk menyadarinya.

Elina lupa, Vanesia mungkin tidak punya otak.

Oh, Betapa jahatnya bagaian ini.

"Sepertinya lo yang bermasalah, melihat betapa bangganya lo mengandeng bekasan gue." Ingin Elina berkata demikian, tapi biarlah itu menjadi batin jahatnya saja.

Sejujurnya, Elina hanya kasihan pada Alden saat cowok itu menembaknya dua minggu yang lalu. Naluri tidak tega-an Elina akan muncul begitu saja ketika seseorang berharap semenyedihkan itu terhadapnya.

Tapi, dua minggu menjalin pacaran, Elina tau Alden hanya menilainya sebagai piagam yang bisa ia tenteng kemana-mana untuk dipamerkan bahwa seorang Alden bisa mendapatkan sang pentolan sekolah.

Tentu saja, Elina bisa berubah lebih jahat dari iblis di malam hari. Dia mempermalukan sang kapten basket itu di tengah ribuan mata siswa-siswi yang menelanjangi Pertunjukan yang Elina buat sebagai kado kecil untuk Alden kenang, betapa hebat cara Elina memutuskannya.

Dan Elina tidak menyesal sedikitpun akan fakta itu, melihat sekarang Alden sudah menggandeng manusia eksis lainnya, atau mencari pelarian yang tidak terlalu buruk setidaknya.

"Baguslah, gue juga mau mampir ke suatu tempat. Bye, lovebirds." Kata Elina akhirnya, melambaikan tangan pergi.

Dia tidak mau menyebutkan bahwa dia ingin berkunjung ke toko buku --dia hanya tidak bisa.

Seperti biasa, semua orang akan menyapa sepanjang langkah Elina membawanya ke lapangan parkir sekolah. Atau hanya sebagian saja, karena selebihnya hanya melempar tatapan iri dan berharap menjadi dirinya, dan sisanya melihat takut kearahnya.

Oh, betapa dramanya hidup Elina. Tapi seperti itulah kenyataan hidupnya.

Semenyedihkan itu.

"Aduh." Pekik Elina saat sesuatu menghantam sisi punggungnya ketika dia akan membuka pintu mobil. Berbalik, siap dengan semua makian yang akan ia muntahkan.

CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang