BAB 24 (a)

33 4 1
                                    

"Cukup Rez, lo hancurin muka gue. Dan sekarang bisnis gue! Bangke!" Teriak Irvan tidak terima, merengek seperti anak lima tahun yang balonnya dirampas paksa.

Alfin yang baru kembali dari mengambil satu bungkus kripik kenteng melempar tubuhnya di karpet tepat disebelah Rezky yang menggulung senyum kemenangan. "Semua tergantung amal ibadah dan perbuatan." Sombong Rezky menaikan kedua alisnya.

"Mampus gue lupa belum sholat isya!" Seperti bunyi alram peringatan, Alfin menepuk dahinya dengan tangan kiri cukup keras sampai menimpulkan bunyi plak. Dia harus berterimakasih berkat perkataan Rezky.

"Buruan sholat sono lo nyet, sebelum mampus beneran." Seru Rezky mendorong Alfin dengan kaki kirinya.

"Bisa dimampusin Enggar pakai jurus rasengan, tau rasa lo." Timpal Irvan.

"Iya, iya gue sholat dulu sebelum disholatkan."

Setelah Alfin meninggalkan ruang tengah untuk beribadah, Irvan dan Rezky melanjutkan permainan monopoli mereka. Baru beberapa detik yang siap membentuk menit terdengar derap langkah lembut menuruni tangga. "Kak, aku gak bisa bobok," Kata seorang gadis kecil dalam balutan piyama lucu bergambar beruang. Sebelah tanganya mengosok-gosokan matanya yang tinggal terlelam, beberapa detik setelahnya ia menguap kecil.

Irvan dan Rezky yang sudah menoleh ke tangga mengulas senyum gemas. Adik Alfin yang baru menginjakan kakinya di Tama kanak-kanak itu memang selucu tokoh kartun Marsya.

"Silvia gak bisa bobok?" Tanya Rezky yang sudah berdiri menghampiri, memegag kedua bahu kecil Silvia. "Kak Rezky gendong ya? Kak Alfin baru sholat."

Irvan dan Rezky memang lebih memilih bermalam di rumah Alfin, berhubung ibu Alfin harus menjenguk mertuanya yang sakit di Surabaya, sementara Silvia dan Alfin tak bisa ikut karena besok mereka harus sekolah. Lagipula, tidak mungkin Irvan pulang dengan wajah memar. Bisa-bisa ibunda tercintanya langsung mengebom rumah Rezky saking panik anak gantengnya dibikin kaya gelandangan.

Dalam gendongan Rezky, Silvia menyandarkan kepalanya di bahu seperti seorang anak pada ayahnya. Rezky dengan telaten membisikan kata-kata lembut pengantar mimpi untuk Silvia. Seperti bisikan doa agar para peri nirwana mengirimkan mimpi-mimpi indah pada gadis kecil yang mendamba kehangatan seorang ayah.

Melihat itu Irvan tau, diantara mereka betempat Irvan jauh dari kata beuntung. Alfin dan Enggar kehilangan ayah mereka sementara seluruh anggota keluarga adalah perempuan yang menjadi tanggung jawab untuk mereka jaga sebagai sorang anak laki-laki dalam keluarga. Sementara Rezky kehilangan ibunya dan harus menebus perbuatanya menjadi kakak yang bisa diandalakan oleh Dearlin.

Sedangkan dirinya? Irvan masih memiliki ibu dan ayah, keluarganya lengkap dan hangat meski Irvan sering membuat ulah. Kedua orang tuanya menyayangi dia, menjadi sosok pahlawan yang didamba banyak anak diluar sana. Meski dia tidak memiliki kakak atau adik seperti teman-temannya, tapi orang taunya tak pernah membiarkan rumah dihinggapi kesunyian, mereka selalu ada saat Irvan membutuhkan, tak pernah menomer duakannya seperti orang tua pembisnis kebanyakaan yang selalu sibuk ini-itu dengan pekerjaan.

"Woi, kesampet gue suruh tidur di luar lo." Seru Alfin yang sudah kembali, melempar bantal tepat mengenai muka Irvan.

"Breng--

"Ssettt," bisikan peringatan Rezky memutus kalimat Irvan. Membuat kedua bocah tengik itu tersadar ada peri kecil yang sedang merajut mimpi.

"Silvia udah tidur itu Rez?" Bisik Alfin memastikan.

"Udah, lo pindahin ke kamar nih." Dengan hati-hati Rezky menyerahkan Silvia pada Alfin.

"Assalamualaikum!!" Seru lelaki dengan bola mata coklat secerah mentari pagi tanpa mengerti situasi.

CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang