BAB 14

23 2 0
                                    

Enggar langsung berdiri memeluk Bobi yang sebesar dua kali dirinya begitu teman sebangkunya itu masuk kelas dengan senyum selebar daun kelor setelah dua hari tidak masuk sekolah karena cacar air.

"Boneka berjalan gue yang gak gue rindukan akhirnya lo sembuh juga, gue kira kelas kita bakal melayat besok." Tentu saja celetuklan asal Enggar membuat gelak tawa di kelas XII Bahasa 3 meski tangan besar Bobi berhasil menjitak kepala Enggar.

"Wah, mesti gas cepat nih ke kantin kalau gak mau kehabisan stok." Celetuk teman kelas Enggar yang lain, Nata.

"Gak papa Bob, seenggaknya masih ada bapak kantin yang merindukan dikau."

"Yang bener merindukan isi dompet Bobi untuk empat piring soto sekali makan." Tambah yang lainnya ikut bersahutan.

"Itu juga kalau utang Bobi udah dilunasin, baru boleh makan soto lagi."

Bobi yang menjadi topik teman-temannya kontak mengerucutkan bibir. "Sialan lo semua, kalau bukan gara-gara godaan soto di kantin Pak Kasim, gue lebih milih tidur di rumah dengan semangkuk brondong jagung sambil nonton Spongebob."

Semuanya lantas mengelengkan kepala maklum. "Tipikal Bobi."

"Kirain lo udah kangen sama Bu Lisa, Bob. Hari ini jadwalnya tuh." Celetuk Abian.

Kali ini bibir Bobi makin tertekuk dengan wajah masam. Mendengar namanya saja semua murid sudah menciut, apalagi bertemu orangnya. Dan sialnya lagi guru satu itu sepertinya cinta mati dengan kelas Enggar. Buktinya Bu Lisa tidak pernah membiarkan murid di kelas XII Bahasa 3 menghirup jam kosong dan panas terik lapangan out door sekolah.

"Iya Bob, mati lo hari ini presentasi." Teriak yang lainnya.

Enggar yang sumula ikut terbahak bersama teman-temannya yang lain langsung terdiam.

Natalia yang menyadari gestur Enggar --Atau Natalia memang sejak awal memperhatikan-- langsung menatap tajam ke arah Enggar.

Sudah kubilang guru satu itu cinta mati, atau muridnya yang senang cari mati?

∆∆∆

Mengikuti saran Natalia untuk membicarakan hal itu dengan Rhosyi. Maka dijam istirahat kedua, dimana kantin tidak seramai dan sepadat biasanya Elina menunggu Rhosyi di salah satu meja kantin, memainkan jus alpukatnya tanpa minat.

Elina bisa saja bersikap tidak perduli, bahkan Elina sempat lupa akan hal itu andai ia tidak sengaja bersitatap dengan Alden hari ini, dan dari mata yang biasa mengintimidasi itu, Elina tau cowok itu sedang menyusun rencana tanpa mau bertindak gegabah untuk ukuran player yang biasa bertindak tiba-tiba.

Rasanya seperti berhadapan dengan bom waktu, hanya tinggal menunggu saat dirinya lengah dan dengan satu gerakan cepat yang sudah tersusun matang untuk mengakhiri permainan. Boom. Semuanya... hancur.

Berlebihan.

Ini hanya Alden, cowok dengan tampang sok berkuasa --dan memang memiliki kuasa, tapi konteksnya orang tua cowok itu yang membuatnya seakan berkuasa-- yang tidak lebih dari pecundang yang hanya bisa pamer kekayaan, bagaimana bisa sekolah yang resmi terakreditasi dan ternama diibukota masih melahirkan pelajar tidak bermoral seperti dia?

Seharusnya Alden mampu membeli cermin sebesar pintu rumahnya --agar cowok itu tau betapa menyedihkanya dia-- dengan uang yang dia pakai berfoya-foya untuk berganti mobil sesering Elina berganti piyama.

CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang