BAB 21

32 3 1
                                    

Seharian Enggar habiskan di studio musik. Bahkan saat gelap menjemput matahari untuk kembali dan menganti biru langit dengan taburan bintang yang dipimpin oleh lingkaran bulan yang melengkung sempurna, ia tetap tak bergeming dari tempatnya duduk dibalik drum set.

Pintu disampingnya terbuka, menampakkan Irvan dengan satu kotak susu vanilla. Satu paket lengkap yang tak mungkin terlewat. "Lo mau tidur sini?" ini sudah kali ketiga Irvan memeriksa studio musik dengan pemandangan yang sama. Kali ini ia melempar tubuhnya ke sofa empuk dan menyambar komik-komik Rezky yang belum sempat Rezky tata di rak buku kecil disamping meja, dibanding sebelumnya yang hanya memastikan Enggar tidak mati gantung diri.

"Lo kenapa, dah? Biasanya kalau minggu lo yang paling semangat dunia akhirat, sekarang udah kaya zombie kekurangan gizi?" Tanya Irvan tanpa beralih dari komik Detective Conan yang begitu digilai Rezky.

Irvan tidak tau, Enggar bisa saja jadi zombie malam ini dan menerkam Irvan untuk menunjang kebutuhan gizinya, pasti akan lebih nikmat bila dicincang macam film SAW, dan menghidangkannya untuk dimakan bersama Sumanto layaknya film Canibal Holocaust.

Baiklah itu berlebihan, bahkan hanya untuk dibayangkan. Enggar bisa saja muntah sekarang.

Tidak heran bila Irvan jadi khawatir mengingat ia memiliki kepribadian paling tenang diantara mereka berempat, hari ini Enggar menjadi manusia yang lupa mempergunakan pita suaranya, membuat Rezky dan Alfin menyerah dan memilih pulang, menyisakan Irvan yang masih bertahan, itu 'pun karena rumahnya yang tepat bersebelahan dengan studio berukuran 4x4 ini, tempat yang mekera bangun bersama persahabatan yang tak terasa sudah tiga tahun berjalan.

"Kalau ada masalah, apa 'sih susahnya terbuka sama sahabat sendiri?" Kata Irvan saat Enggar beranjak menuju kulkas.

Karena lo masalahnya, hal ini jadi lebih sulit.

Merendam suara batinnya, Enggar meneguk minuman dari botol mineral. Ia mengambil duduk dibagian sofa yang lain seraya mendongakkan kepala menatap langit-langit studio.

Tempat ini adalah saksi bisu persahabatan mereka. Ah, tak pernah ada kebisuan diruang hangat dimana mereka berempat selalu membuat keributan. Berawal dari gudang kosong yang tak terpakai, hingga merangkainya menjadi lebih hidup dengan segala yang mereka sukai, mulai dari musik, film, dan buku.

They not only about important thing, They are everything.

Hal yang selalu Enggar rasakan terhadap mereka, begitupun sebaliknya. Tanpa sadar pandangan Enggar perlahan memburam.

"Anjir, Gar lo kenapa? Lo nangis?!" Seru Irvan panik. "Oke, lo mulai menyeramkan dan gue gak tau harus gimana?"

Enggar tau sekarang pengelihatanya mengabur karena ia menangis, tapi ia tak kunjung menjawab rentetan pertanyaan Irvan dan membiarkan air mata itu lolos melewati pipinya dalam diam.

Enggar tidak mungkin mengatakan alasan dirinya menangis, tidak didepan Irvan.

Tidak saat ia menangis karena merindukan ayahnya.

"Gar lo jangan diem aja, kasih tau gue harus gimana?!" Tanya Irvan masih dilanda kepanikan. "Berasa homo gak, sih, kalau gue peluk lo dan bilang semuanya bakal baik-baik aja?"

Kali ini Enggar tak bisa menahan senyum geli mendengar kalimat random Irvan, alhasil ia menyerka air matanya dengan tangan dan menoleh pada Irvan. "Gue gak papa."

"Cuma orang bego yang percaya kalimat lo." Kata Irvan mendengus. "Dan gue akan pura-pura bego sampai lo siap buat cerita, gue tau lo butuh waktu."

Enggar hanya tersenyum tipis. Dirinya hanya tak yakin kapan ia siap meski itu bukan sekarang, tidak juga nanti, atau... kapanpun.

∆∆∆

Setudio tampak begitu kosong setelah Enggar berpamitan pulang, tidak ada suara jarum jam yang berdetak memecahkan kesunyian, mereka berempat membenci hal itu, hanya mengingatkan mereka akan kesendirian.

Irvan tau semuanya tidak baik-baik saja seperti yang ia katakan pada Enggar, tidak saati ini, nanti, dan saat yang entah kapan hal itu akan terjadi.

Saat Enggar, Elina, dan Daniel duduk dalam satu meja.

Saat Harapan, kenangan, dan kenyataan ditempatkan dalam satu ruangan.

Irvan melihat semuanya di makam tadi pagi, satu pemandangan langka dimana Enggar berada dimakan 'Evke Tunga Dewa' alih-alih Sebastian, ayahnya.

Nyatanya Irvan tidak hanya berpura-pura bego, dia bahkan berpura-pura tidak tau karena itu yang Enggar butuhkan. Menjadi bayangan yang terus mengikuti tanpa bisa ikut mengakhiri.

Lama Irvan menimang-nimang ponsel ditangannya yang tidak akan berubah menjadi terminator secara tiba-tiba, atau babel bee layaknya mobil dalam film Transformers dan menyelamatkan dunia Irvan yang dilanda gelisah, galau, merana.

Oke, semua pikiran ini membuat Irvan kekurangan fokus dan memerlukan aqua.

Baiklah, sekarang tanpa ia sadari sudah mengiklankan produk yang tidak adil meng-endors terbentuknya cerita ini.

Astaga, fokus Irvan!

Setelah menarik nafas panjang, ia mencari nama dalam jajaran kontak pada ponselnya, saat ia sudah menemukan nama yang ia cari sampai akhirnya Irvan menempelkan ponselnya ke telinga.

Pada nada dering kelima, nada panggilan berganti suara perempuan yang selalu menyambut panggilan Irvan.

"Hallo gue Windi, are you miss me? But I'm sorry. Silahkan tinggalkan pesan setelah suara. Bip. Dimengerti?"

Bip.

Selalu begitu.

"Gue gak mengerti kenapa kalian lakuin ini ke gue?" Irvan tertawa hambar. "Gue kangen lo Win, sama seperti gue kangen Alex dan Piter. Rasanya nyaris bikin gue mati. Gue ngerasa bodoh karena masih aja berusaha nelpon nomor yang bahkan gak mau dengar suara gue muski itu permintaan maaf sekalipun. Ah, bahkan gue 'lah orang terbodoh yang membuat kata maaf aja terasa salah buat semua perbuatan bodoh gue.

"Tapi, bisakan orang bodoh ini dapet kesempatan untuk memperbaiki kebodohannya? Gue butuh lo Win, gue butuh kalian." Suara Irvan berubah parau. "Gue selalu butuh kalian ada disini buat ngingetin gue supaya gak berlaku bodoh, lagi."

Irvan kembali menarik nafas panjang dan mengusap kasar air matanya dengan punggung tangan. "Ah, london sedang musim dingin, ya?" Nada suara Irvan berubah ceria. "Tunggu, atau emang gak ada musim panas disana? Apa nona Windi sedang duduk di cafe pingging sungai with a good book and a cup of coffe? Gue harap lo merapatkan switer hangat biru muda lo dan pakai penghangat telinga dengan benar, jangan bikin gue khawatir saat membaca koran dengan deadline 'telah ditemukan gadis cantik yang membeku kedinginan' karena tiket melayat pasti mahal." Irvan terkekeh sesaat sebelum tersenyum masam.

"Win, jangan siksa gue dengan diam, bicara sama gue, Win. Meski sekedar pernyataan kalian baik-baik saja. Gue mohon."

"Lain kali kita bicara lagi ya --gue ngoceh lagi maksudnya," sekali lagi Irvan tertawa hambar. "Maaf kali ini gue gak cerita soal keluarga baru gue, gue sedang diposisi sulit dan semua semakin rumit karena ini menyangkut mereka. Malem Win, sampaikan salam gue buat Alex dan Piter."

Tanpa Irvan tau, seorang gadis dengan switer biru muda membenarkan letak penghangat telinganya setelah meneguk coffe late, pandanganya beralih pada Big Bang yang berdetak mengetarkan angin malam di musim dingin.

∆∆∆


NOTE. maaf kalau bab ini pendek dan terkesan chreepy, tapi ada beberapa poin penting disini.

CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang