Langit ibukota tak semendung kemarin, tapi Enggar masih memasang wajah murungnya. Padahal hampir seluruh siswa SMA Gardira menunjukan wajah berseri setelah dering panjang bell yang mengema.
"Gar, kumpul di studio musik, jadi?" Tanya Irvan yang berdiri disampingnya, melirik Enggar sekilas sebelum kembali fokus pada layar ponselnya.
"Gak tau Van, hari ini gue mulai jemput Kiran lagi." Kata Enggar mengedipkan bahunya. "Lihat nanti lah, mungkin gue agak sore baru bisa kesana."
"Yaudah." Irvan menepuk bahu Enggar. "Gue duluan ya, mau ke kelas Dearlin bentar."
"Sukses, bang." Teriak Enggar dari tempatnya yang dihadiahi acungan jempol Irvan, setelahnya Enggar berjalan santai menuju parkiran SMA Gardira. Baru tanganya hendak membuka pintu mobil sampai pukulan di lengannya yang cukup keras membuat Enggar terlonjak kaget.
"Lo kok pulang gitu aja, sih."
Mengusap bekas kejahatan Natalia di lengannya. "Astaga, jadi cewek lembutan dikit kali Odi. Kenapa? Lo masih kangen sama gue?" Kata Enggar nyengir.
Menatap Enggar seakan kepalanya jadi lima, membuat Natalia memijat batang hidungnya. "Lo tidur lagi ya tadi jam pelajaran PKN?" Tuduh Natalia.
"YaTuhan, ya enggak lah Odi... enggak salah." Kata Enggar terkekeh saat Natalia menatap tajam kearahnya.
"Kita satu kelompok buat makalah PKN, minggu depan udah harus diselesaiin. Jadi, mau ngerjain kapan? Gue susah punya waktu luang." Jelas Natalia akhirnya.
"Yaudah, gue terserah lo aja bisanya kapan?"
"Oke, nanti sore aja gue kuramah lo gimana, gak papa 'kan?" Tanyanya.
Sekilas Enggar tertawa geli dengan ucapan Natalia, meski tidak lucu namun terasa aneh. "Ya gak papa 'lah, lo mau gue jemput jam berapa?"
Natalia menggeleng. "Gak usah, gue bisa sendiri."
"Oke, gue udah boleh pulang 'kan sekarang? Udah gak kangen lagi?" Goda Enggar yang kembali membuat Natalia memukul lengannya. Dengan sisa tawanya Enggar mengacak rambut Natalia dan beranjak pergi.
Sementara Natalia masih diam disana memegang pucuk kepalanya, dingin tangan Enggar serasa masih tertinggal dan menjalar membekukannya.
Sial gue baper.
¤¤¤
Elina tidak perduli tatapan penasaraan yang diluncurkan padanya, atau mata Racel yang seakan cewek itu mencium bau penghianatan, terakadang Elina benar-benar jengah dengan sikap mereka yang menganggap hidupnya patut di-expose. Seakan segala tentang dirinya sudah selayaknya dijadikan forum diskusi bersama. Menyebalkan.
Melihat seseorang tengah bersandar pada mobil silver, senyum Elina mengembang. "Rhos, lo pulangnya gimana?" Tanya Elina momotong cerita Rhosyi tentang kompetisi modern dance.
"Gue bareng sepupu gue tapi kayaknya belum ada, apa gue cek aja ya kekelasnya?" Tanya Rhosyi lebih pada dirinya sendiri.
"Gue ada perlu, gak papa kan gue duluan?" Setelah mendapat anggukan dari Rhosyi dan menepuk bahu cewek itu, Elina berjalan tergesa menuju gerbang sekolah.
Cowok itu masih sibuk memainkan ponsel ditanganya, tentu dalam kondisi seperti ini sisi jahat Elina bisa muncul kapan saja. Langkah Elina semakin pelan dan hati-hati saat jarak diantara mereka semakin tipis. Hingga...
"Dooor."
"Irvan."
Tawa Elina berhenti, sebelah alisnya terangkat. "Irvan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
CIRCLE
Teen FictionSiapa bilang menjadi seorang 'Pusat semua mata' adalah posisi sempurna? Terkadang, selalu ada dongeng muram dibalik gemerlap apa yang tampak didepan mata. Dan saat masa lalu yang menyakitkan kembali untuk mengobati luka kasat mata. Dan ketika masa d...