BAB 11

44 4 6
                                    

"Siapa yang ngabisin susu vanilla gue!" Teriak Irvan dari arah dapur.

Ini masih pagi di hari sabtu, matahari belum membakar jalanan kota dengan sengatan panasnya, embun pada dedaunan di halaman rumah keluarga Dikta 'pun belum sempat mengering, tapi Irvan sudah berteriak delapan oktaf dengan hasil sarapanya yang mungkin belum dicerna.

Enggar dan Alfin yang sibuk bermain PSP sontak menoleh hanya untuk menggeleng maklum. Setelahnya kembali fokus pada layar lcd.

Sejurus kemudian Irvan datang, berdiri menghalangi pandangan mereka. Bagai anak kecil yang balonnya dirampok. Jika para cewek disekolah sanggup mengantri berjam-jam hanya untuk bisa mencubit pipi Irvan yang sengaja digelembungkan, Enggar dan Alfin bisa saja menampar Irvan tanpa kasihan saking jijiknya.

"Gue inget banget masih ada empat kemarin waktu gue kesini?" Tanya Irvan lebih seperti merengek.

"Irvan minggir!" Teriak keduanya serempak, mencari celah untuk bisa melihat tanpa mengalihkan tangan mereka dari stik PSP. Menyerah, Alfin menatap Irvan tajam. Enggar berdecak kesal.

Sementara Irvan tampak menuntut penjelasan.

"Silvia yang minum." Jawab Alfin sekenaknya. "Gue minum dua, Silvia dua."

Melihat Irvan menyipitkan matanya seperti tidak percaya, Alfin mendengus. "Oke, gue minum tiga dan Silvia satu."

Alfin mengangkat kedua tangannya menyerah saat Irvan masih menatapnya itu dengan senyum miring andalannya. Sial. "Oke, oke. Gue minum semua tadi malam karena gak bisa tidur. Puas?"

Gagal sudah rencana Alfin menggunakan adiknya sebagai alibi.

Enggar terbahak.

Irvan tersenyum menang. "Lo harus beliin gue sepuluh sebagai ganti ditambah bunganya."

"Lo pikir kulkas gue bank? Enggak, enggak. Itu pajak karena lo selalu menyabotase laci kedua kulkas rumah gue dengan susu vanilla lo yang ngabisin tempat." Protes Alfin membuat Irvan langsung cemberut.

Melihat ekspresi itu Enggar dan Alfin kompak mencibir. "Dasar, big baby."

Masih segar dalam ingatan mereka tentang Irvan yang merengek minta susu vanilla saat mereka berkunjung ke Coffe shop salah satu saudara Rezky.

"Eh, jangan salah ya. Coffe itu bukan satu-satunya anugerah didunia. Masih ada susu vanilla, susu vanilla, sama susu vanilla." Protes Irvan yang memang punya riwayat buruk dengan Kafein.

"Lo tampak bodoh dengan menyebut susu vanilla tiga kali." Cibir Alfin.

"Dan membuat kita semakin yakin, bahwa lo hanyalah bayi besar dengan muka Player akut." Timpal Enggar.

Bila Rezky --Si raja modus yang tiba-tiba jadi raja ngaret-- sudah dantang. Sudah pasti dia akan mengejek Irvan dengan julukan Vanilla boy yang diberikannya setelah kejadian itu.

Bahkan mereka harus rela berbagi kulkas dirumah mereka untuk persediaan susu vanilla milik Irvan. Bukannya mereka bermasalah akan hal itu, hanya saja mereka juga ikut tergoda dan bisa ikut menghabiskan seperti yang terjadi di rumah Alfin sekarang.

Mengerti ini tidak akan berakhir, Alfin bangkit berdiri. "Ayo ke supermarket, gue juga perlu belanja buat persediaan seminggu kedepan."

Tentu saja Enggar dan Irvan kompak bersorak girang, bahkan tingkah mereka lebih kekanak-kanakan dibanding ketika Alfin mentraktir ice crem adiknya yang masih berusia lima tahun. Menggeleng. Alfin benar-benar lelah dengan mereka.

CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang