Suara musik dengan tempo cepat, gerekan kaki yang sesekali menghentak pada lantai keramik, saling bersahutan mengisi studio tempat latihan Modern dance SMA Nusa Tungga.
"Ulang!" Bentak Racel tiba-tiba mematikan musik. "Ini yang lo sebut nari? Orang dugem di pub aja lebih jago. Gerakan kalian payah, tempo kalian kacau dan gak sesuai."
Semuanya memilih diam. Dari pipi merah mereka yang sudah penuh dengan peluh cukup menunjukan banyak tenaga terkuras. Tapi, Racel sepertinya masih menganggap usaha mereka sebagai sampah. Kejam.
"Itu anak kenapa, sih? Lebih killer dari OSIS lagi nge-MOS, udah kaya mau makan orang gitu mukanya." Bisik Rhosyi yang duduk disamping Elina.
Meski menyetujui anggapan Rhosyi, Elina tidak mengatakan apa-apa dan memilih berdiri mendekat seraya berhenti disamping Racel.
"Gue contohin sekali, kalian perhatiin baik-baik sebelum kita pulang." Kata Elina santai tanpa mengindahkan tatapan protes Racel. "Ini udah sore dan kita semua udah capek. Sebenernya mereka gak seburuk itu, atau lo aja yang gak capek teriak-teriak gak guna?" Potong Elina lebih kejam. Kejam dan menikam.
Racel langsung meninggalkan tempat latihan setelah mengemasi barang-barangnya tanpa perlu berbasa-basi. Elina sendiri sudah selesai dengan urusannya saat satu-persatu anggota junior modern dance berpamitan padanya atau sekedar menegur sebelum pergi.
"Sepupu lo udah selesai futsalnya?" Tanya Elina menyampirkan tas birunya.
Rhosyi mendongak dari layar ponselnya, mereka sedang berjalan beriringan menuju tempat parkir. "Udah, kay-- itu." Tunjuk Rhosyi dengan dagunya pada seseorang yang tengah bersandar pada mobil dengan ponsel ditangannya. "Lo pulangnya?"
"Gue gampang." Jawab Elina mengedipkan bahu. "Udah sana." Mendorong bahu Rhosyi pelan, membuat cewek itu segera berlari meninggalkan Elina seraya melambaikan tangan.
Baru Elina hendak menuju gerbang sekolah sampai sebuah tangan menariknya. "Ada yang mau gue omongin, penting."
Melihat tampang serius Jordan yang jarang muncul pada wajah yang terbilang selalu tampil cenggengesan. Membuat Elina menurut saja meski sebagian dirinya merasa perlu memberontak dengan sikap Jordan --Menarik tangannya sedikit kasar-- hingga membuat Elina tertatih mengikuti langkah lebarnya. Untung sekolah sudah sepi, jadi Elina tidak perlu khawatir akan hal itu --Meski dia memang tidak perduli kalaupun ada yang melihatnya.
"Gue gak mau ada yang denger pembicaraan kita." Kata Jordan membukakan pintu mobilnya untuk Elina dengan perintah masuk tak terbantahkan. Lagipula Jordan pasti tau Elina tidak membawa mobil hari ini, mengantar Elina pulang dan mengatakan pembicaraan didalam mobil dirasa satu-satunya tempat yang tidak mungkin terjamah telinga asing.
"Apa yang mau lo bicarain?" Tanya Elina to the point saat mobil Jordan mulai bergerak pelan, melewati gerbang SMA Nusa Tunga.
Jordan berdecak. "Lo gak ada basa-basinya ya, gimana kalau gue nabrak tukang cendol mengingat lo malah bikin suasana makin tegang." Kekeh Jordan yang membuat Elina memutar bola matanya, tapi patut diakui Elina merasa oksigen yang dia hirup mendadak panas dan membuat dadanya sasak. Berlebihan.
Merasa perlu mencairkan suasana, Elina menghidupkan radio dan berhenti pada lagu lembut Shaw Mendes - Life Of The Party yang sepertinya baru saja diputar oleh sang penyiar.
I love it when you just don't care.
I love it when you dance like there's nobody there.Jordan tiba-tiba tertawa kosong. "Gue berpikir apakah respon lo akan sama dengan lagu yang lo dengar, tapi untuk pertama kalinya gue meragukan pikiran gue terhadap lo." Katanya terdengar ambigu bagi Elina.
KAMU SEDANG MEMBACA
CIRCLE
Teen FictionSiapa bilang menjadi seorang 'Pusat semua mata' adalah posisi sempurna? Terkadang, selalu ada dongeng muram dibalik gemerlap apa yang tampak didepan mata. Dan saat masa lalu yang menyakitkan kembali untuk mengobati luka kasat mata. Dan ketika masa d...