Kiera sudah pulang lebih dulu dengan sedikit paksaan Enggar setelah mereka berdua selesai mengunjungi makam Papa. Hari masih terlalu pagi, membuat switer yang Enggar kenakan tak cukup menghangatkan.
Dan makam bertuliskan Evke Tunga Dewa didepanya membuat Enggar menggigil, bukan karena ketakutan --Jika mengingat ia berada di tengah kuburan sendirian-- tapi fakta dibalik nama itu seakan menyeretnya pada masa lalu yang sudah membeku.
Tiga tahun yang kelam, diliputi dendam, dan bayangan hidup yang suram. Enggar tidak mungkin lupa meski ia tak ingin mengingatnya. Saat Papanya pergi, bayangan kebahagiaan itu 'pun seakan hanya menjadi angan belaka. Semuanya tak akan lagi sama. Dan memang begitulah perubahan berbicara, perlahan detik membentuk menit, menjadikannya jam, hari, bulan dan tahun. Hingga Enggar mulai berdamai dengan hidupnya berkat waktu.
Waktu memang selalu menciptakan teka-teki yang berujung pada misteri. Tapi waktu juga menunjukkan jalannya untuk membuka tabir rahasia. Menuntun kita pada takdir yang memainkan perannya.
Sangat menyenangkan bermain dengan takdir yang seakan mempermainkan kita.
Disentuhnya tulip putih yang masih segar diatas tanah makam, tanda belum lama bunga putih tersebut bertenger disini --Dan memang baru kemarin-- jarinya terus menelusuri hingga berhenti pada batu nisan.
Fakta-fakta mengejutkan yang Enggar dapat dari Kiran semalam, terus berkeliaran memenuhi isi kepalanya.
"Gue ketemu kak Elina waktu mau ziarah ke makam papa."
"Abang inget Evke Tungga Dewa? Dia kembaran kak Elina, sahabat kak Irvan dulu."
"Apa abang gak mikir, mungkin enggak nantinya kalau kalian berakhir jatuh cinta, itu cuma karena perasaan kasihan semata?"
"Picik memang, tapi siapa mengira sesuatu seperti hati?"
Lucu.
Lelucon apa lagi sekarang?
"Jadi, sesempit itu ya, dunia?" Kekeh Enggar. "Banyak yang gue gak tau, dan gue akan mengetahuinya. Lo gak perlu khawatirin dia, ini cuma sementara dan setelah itu anggep semua gak pernah terjadi."
Enggar pergi meninggalkan makam tanpa menunggu jawaban apalagi persetujuan dari desuh angin pagi sekalipun, ini sudah menjadi keputusannya.
Dan saat ia sudah memutuskan, maka akan sulit baginya merubah haluan.
Saat Enggar sudah keluar dari area pemakaman, dilihatnya cewek dengan rambut panjang yang dikucir kuda seperti tengah mengambil jeda menetralkan deru nafasnya setelah berlari pagi.
Dengan senyum seribu dolar, Enggar melangkah penuh percaya diri mendekat kearah cewek itu yang belum menyadari keberadaannya, hingga membuat Enggar harus menepuk pundak cewek itu pelan saat jarak keduanya sudah semakin menipis.
Saat cewek itu menoleh dengan mata membulat seperti terkejut, Enggar justru melebarkan senyumnya karena perkiraannya benar. "Pagi, Odi." Sapa Enggar.
Komplek perumahan Natalia memang tak terlalu jauh dari pemakaman yang Enggar kunjungi tadi. Apalagi Enggar yang sudah meminta Kiera pulang lebih dulu, harus berjalan beberapa menit untuk sampai di halte bis untuk pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
CIRCLE
Teen FictionSiapa bilang menjadi seorang 'Pusat semua mata' adalah posisi sempurna? Terkadang, selalu ada dongeng muram dibalik gemerlap apa yang tampak didepan mata. Dan saat masa lalu yang menyakitkan kembali untuk mengobati luka kasat mata. Dan ketika masa d...