BAB 29

20 3 0
                                    

Pada umumnya semua anak perempuan pernah mendengar dongeng tentang Cinderella, gadis malang yang tinggal bersama ibu dan dua saudara tiri yang jahat, tapi akhir bahagia selalu berpihak pada kebaikan, hanya perlu menunggu, meski lama yang kita butuhkan hanya percaya, hanya butuh sedikit kepercayaan untuk menunggu lebih lama.

Sejujurnya Elina tidak menyukai dongeng Cinderella, memikirkannya saja sungguh menyebalkan. Bagaimana bisa Cinderella sebodoh itu untuk tidak melaporkan kekerasan dalam keluarga mengenai sikap ibu tirinya? atau betapa munafiknya sepatu kaca yang hanya pas dikaki Cinderella bisa terlepas sebegitu mudah saat berlari meninggalkan pesta dangsa? tidak masuk akal sama sekali.

Tapi lihat dirinya sekarang, datang terlambat diacara pertemuan dan menjadi pusat perhatian dalam sekejab, bagai dia adalah Cinderella yang dinantikan pangeran, menyihir seluruh pasang mata terpatri padanya, tapi sayang, bukan seperti itu dongeng yang sedang Elina perankan.

Elina melempar senyum tipis pada seseorang yang berdiri disampingnya, tangannya yang sudah melingkar sempurna pada lengan kiri pria tersebut makin ia eratkan sedikit, tanda ia siap melangkah. Sunyi yang tiba-tiba menyelimuti membuat derap langkah sepasang undagan yang baru datang serasa menggema memenuhi ruangan, sungguh serasi. Layaknya pangeran dan putri yang sengaja diturunkan dari kayangan untuk membuat iri para pasangan dibumi.

Langkah keduanya terhenti didepan wanita paruh baya yang tengah mengobrol dengan remaja seusia mereka, "maaf saya membuat Elina dantang terlambat," sapa Daniel selembut dan sesopan mungkin.

Mirna sejenak menelisik penampilan Daniel, wajah tiga tahun lalu tak banyak berubah selain terlihat lebih dewasa dan matang, "kamu melakukanya dengan baik, terimakasih sudah melauangkan waktu menjemput Elina," jawab Mirna dengan senyum bersahabat.

"Ma, Elina sama Daniel ke yang lain dulu ya," pamit Elina yang diangguki senyuman yang sama oleh Mirna, sebelum jarak mereka semakin terbentang, Elina menyempatkan diri menoleh kebelakang dan memberikan satu kedipan mata pada cowok disamping Mirna, membuat Alden mengeratkan pegangannya pada gelas selayaknya pecundang malam.

"Kita ke balkom aja," bisik Elina pada Daniel, membuat langkah keduanya berubah haluan.

Sesampainya mereka berdua disana terpisah dari keramaian, hanya terdengar tawa samar yang berlarian, hembusan angin malam yang terbias dalam rintik hujan. Daniel tau tanpa sepengetahuan Elina, bahwa gadis itu benci berada diketinggian. Meski alua ini berada dilantai dua dengan tinggi yang tak seberapa, tetap saja bila mereka berada dibalkom akan memperjelas posisi berdiri keduanya.

"Dan, lo-lo tau gu--" ucapan Elina terputus saat kedua tangan Daniel secara tiba-tiba melingkar dipinggang Elina, mengikis jarak diantara keduanya. Dan saat Elina mendongak, susah payah ia menelan salvia saat dilihatnya tatapan yang dulu Daniel selalu berikan, tatapan meneduhkan itu.

"Will you dance with me and tell me 'why' in the dance?" Kata Daniel memberi kode pada Elina untuk memulai 'pembicaraan' mereka.

Menangkap isyarat itu Elina meletakan kedua tangannya dibahu Irvan dan mulai mempadukan langkah kaki mereka, seakan sebuah musik klasik berputar dipikiran keduanya bersama rinai hujan yang kian giat menguyur ibukota dalam bisingnya malam.

Yang Daniel lakukan adalah mengalihkan fokus Elina, dengan begini ingatan bahwa mereka berada dalam ketingian balkom dari lantai dua akan tersisihkan, Daniel tau Elina selalu bisa melepaskan emosinya pada sesuatau yang dia sukai, menari.

"Jadi, lo tau fobia gue?" Mulai Elina dalam dangsa mereka.

"Gue tau semua tentang lo."

Dalam dangsa mereka, bersama hujan, angin malam, dan sebuah pengakuan terungkap bersama.

CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang