BAB 18

34 3 3
                                    

"Gue udah bilang gak usah."

"Tapi ini udah terlanjur sah."

Mungkin jawaban Enggar terdengar normal bagi telinga orang lain, tapi tidak untuk Natalia. Nyatanya ia mulai berpikiran liar tentang Enggar yang melamarnya hingga mereka sah, tinggal menunggu Natalia berpikir semakin liar, seperti anak pertama mereka laki-laki atau perempuan?

Orang jatuh cinta bisa menjatuhkan segala akal sehatnya bukan?

"Biasanya lo nemplok sama mereka --Irvan, Alfin, sama Rezky-- kalau jam istirahat." Kata Natalia sambil menyendokan kuah soto kemulutnya.

"Sekali-kali butuh pemandangan." Jawab Enggar mengedipkan bahu.

Kontan Natalia mendelik meski sesuatu dalam perutnya serasa menggelitik. "Apaan tuh maksudnya?"

"Bercanda." Kekeh Enggar menyuapkan Kentang goreng ke mulut Natalia. Meski memutar bola mata namun Natalia tetap membuka mulutnya --menerima.

Setelah itu tidak ada lagi yang bersuara --bila bisingnya kantin tidak masuk dalam hitungan-- hanya sesekali sendok Natalia yang beradu dengan magkuk terdengar jelas bagi telinga Natalia, meski degup jantungnya terasa bersuara lebih keras.

Mereka tengah berada di kantin sekolah, padahal Natalia sudah tidak mempermasalahkan traktiran itu, tapi Enggar memaksa karena dia merasa hal itu hutang, jadi harus dibayar. Enggar takut ditagih di akhirat, katanya.

"Lo tau enggak, Gar. Alfin sama Larisa punya hubungan apa?" Tanya Natalia mencari topik. Selain bisa menggobrol lebih dengan Enggar, Natalia bisa mengorek informasi untuk Mawar. Sambil menyelam minum air, pikirnya.

"Kakak kelas dan adik kelas," jawab Enggar cuek, mencomot kentang gorengnya.

Natalia memutar bola matanya. "Kalau itu 'mah gue juga tau."

"Kalau udah tau, ditulis jawabanya, terus dikumpulin biar dinilai." Celetuk Enggar tidak nyambung.

"Garing." Ledek Natalia.

"Kalau garing disiram biar basah."

"Tau ah, gelap."

"Makanya dinyalain lampunya, biar terang."

"Diem atau gue siram pakai es teh!" Peringat Natalia karena Enggar terus berbicara ngawur.

"Diminum jangan disiram, tar mubazir." Jawab Enggar polos.

"Gue kenyang!" Putus Natalia bangkit berdiri, lalu berbalik meninggalkan kantin.

Enggar hanya menatap punggung Natalia dengan sebelah alis terangkat, lalu beralih pada mangkuk soto didepannya.

Ya iyalah kenyang, Ludes gitu ampek kuah-kuahnya.

∆∆∆

Bila kemarin Irvan bisa menghindari Dearlin dengan alasan acara keluarga, tapi sekarang? Mungkin Irvan harus pura-pura mati andai itu masuk akal untuk ia coba. Jangan salahkan Irvan karena terlihat pengecut, tapi salahkan nyalinya yang selalu menciut saat mata coklat cewek didepanya bersitatap dengan mata hitamnya. Seperti ada tembok besar yang tak bisa Irvan panjat, lebih dari itu yang membuat Irvan takut. Ia takut melukai Dearlin dengan ketidak pastian hatinya.

Terlalu banyak rahasia diantara mereka. Tentang Irvan dan masa lalunya, tentang Dearlin dan segala teka-teki hidupnya --Lebih rumit dari lagu Raisa. Dan yang membuat ini jauh lebih sulit, kenyataan mereka saling menyayangi namun berusaha untuk saling melepaskan. Bodoh memang.

"Hai." Sapa Irvan mengaruk tengkuknya --Kebiasaan saat dia sedang gugup-- mengambil tempat duduk disamping Dearlin, namun menyisakan jarak yang masih bisa diduduki satu atau dua orang.

CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang