BAB 3

54 12 0
                                    

Saat setiap anak tidak sabar menunggu waktu makan malam bersama keluarga atau setidaknya orang tua, tapi tidak untuk Elina. Semua obrolan yang terjadi di meja makan membuat nafsu makannya menghilang. Seakan setiap satu detiknya adalah satu jam yang panjang.

"Bagaimana sekolah?" Setelah cukup lama terdiam, Ayahnya selalu membuka pembicaraan dengan pertanyaan ringan.

Tapi Elina terlalu tau akan kemana akhir semua pembicaraan ini, meski dengan setiap pembukaan yang berbeda sekalipun. Semuanya hanya akan berujung pada dia. Dia yang bahkan telah tiada.

Meneguk air minumnya bak seorang putri Elina mengangguk. "Baik."

"Jangan terlihat lemah didepan temanmu." Ibunya menimpali.

Miris rasanya, bahkan Elina tidak punya teman dan mereka dengan santainya mengucapkan itu. Mereka yang membuat Elina dipandang seperti ini. Seakan dia Ratu, tanpa mereka tau Elina seolah peran antogonis disini.

Tapi Elina hanya bisa menjawab. "Tentu."

"Jangan buat kami kecewa seperti dia, kamu harapan kami satu-satunya." Tambah Ayahnya.

Yah, Elina mengerti. Seakan semuanya masih terperangkap disana, tiga tahun yang lalu, tahun yang begitu kelam.

Seharusnya meja disamping Elina tidak kosong, seharusnya ada penghuni yang berisik didepan kamar Elina, harusnya Elina tak sendirian meratapi rumah sepi ini. Ah, semua hanya menjadi kata seharusnya.

Nyatanya, dia telah pergi. Dia tidak menyetir mobil untuk mereka kesekolah bersama, dia tidak memukul wajah cowok yang mencoba bermain-main dengan Elina, dia tidak ada.

Hanya ada nisan bertuliskan namanya yang Elina kunjungi seminggu sekali tanpa kedua orang tuanya tau. Hanya tinggal nisan bertulis Evke Tungga Dewa. Dan hanya itu yang tersisa.

"Tidak akan." Jawab Elina singkat, mulutnya sudah terlatih untuk tidak memberontak. Menjadi boneka kesayangan ibunya dan menjadi robot kebanggaan ayahnya.

"Minggu depan Mama mau kenalin kamu ke anak temen Mama, kosongin acara kamu." Kata mama.

Elina hanya mengangguk, percuma memberi jawaban karena semua remot kontrol atas dirinya ada pada mereka.

"Elina sudah selesai, ada banyak tugas sekolah." Menyilangkan garpu dan sendoknya Elina beranjak menaiki tangga.

Tepat dianak tangga kelima Ayahnya bersuara. "Ayah dengar kamu ikut membantu kelas musik dan melukis, kamu tau itu-"

Tapi Elina lebih dulu memotong, dia sudah terlalu lelah hari ini. Hanya untuk kali ini. "Elina akan berhenti."

"Yah, tidak berguna dan tidak menjamin masa depan. Hanya membuang-buang waktu. Seperti Evke yang hanya menyia-nyiakan hidupnya." Tambah Elina dalam hati, dia sudah hafal dengan semua kata yang siap Ayahnya ucapkan.

"Bagus, memang sudah seharusnya." Kata Ayahnya.

Sudah seharusnya?

Apa harus dengan memaksa Elina mengikuti semua kelas bisnis? Berdandan ala kolega dan berpura-pura menyukai obrolah tentang saham dan uang? Bahkan berkenalan dengan semua anak teman bisnis kalian untuk dijodohkan dengan Elina?

Apa harus sepertu itu?

Apa kalian tau? Kalian yang membunuh Evke tanpa kalian sadari.

¤¤¤

Enggar hanya memandangi Irvan yang bermain baskat dilapangan in-door dengan malas. Seharusnya mereka berempat bermain basket seperti biasa atau setidaknya melakukan kegiatan yang sedikit berguna. Saling mem-bully misalnya. Tapi, karena Rezky dan Alfin sedang sibuk membuat Laporan karya ilmiah hingga menyita jam pulang sekolah mereka -resiko anak IPA- membuat hanya mereka berdua yang berbeda jurusan terdampar disini.

CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang