Elina sudah selesai menganti baju santainya dengan piyama, meski jam masih menunjukan pukul 19.30 WIB. Malam ini tidak ada PR yang harus ia kerjakan, lagipula jadwal sekolahnya besok juga terbilang ringgan, sehingga tidak ada hal lain yang bisa Elina lakukan selain tidur.
Tepat saat Elina hendak mengubur dirinya dalam selimut tebal, ponsel disampingnya bergetar. Dengan malas ia mengambil benda silver tersebut, tanpa melihat nama yang terpampang di layar ponselnya, Elina mengangkat telepon tersebut.
"Halo."
"El."
Sebelah alis Elina terangkat saat menyadari siapa yang meneleponnya. "Kenapa Ra?"
Hanya ada tiga kemungkinan Racel meneleponnya. Lagi.
Pertama, Mereka --Racel, Shanaz, dan Vanesia-- akan mengajak Elina menonton film yang sedang booming di bioskop besok.
Kedua, Brend atau Lebel ternama sedang launcing produk baru.
Ketiga, urusan mengenai modern dance yang sebenarnya sudah terurus dengan baik.
"Gue rasa lo deket banget sama Rhosyi sekarang, lo juga jadi jarang ngumpul lagi sama kita-kita." Kata Racel dengan nada tenang dan tanpa basa-basi.
Atau Elina harus menambahkan kemungkinan keempat, yang sekarang menjadi sangat memungkinkan Racel sedang menyidangnya. Menyebalkan.
Belum sempat Elina membalas, Racel sudah lebih dulu menambahkan.
"Bahkan lo selalu ngabisin jam istirahat sama dia, lo juga gak hang out lagi bareng kita-kita sepulang sekolah, kenapa?" Kini nada bicara Racel berubah sinis.
"Kenapa itu jadi penting sekarang?"
"Ayolah El, sejak kapan lo jadi gak asik gini? Lo bisa menjatuhkan pamor lo sebagai cewek eksis dengan bergaul sama dia. Lo gak mau bikin track rekor geng kita hancur 'kan?"
"Wow.." Seru Elina. "Sejak kapan gue perduli pamor? Dan sejak kapan gue merasa jadi bagian dari kalian? Bukankah kita cuma cewek-cewek yang merasa punya kuasa dan sudah sepantasnya berkumpul bersama untuk menjaga gengsi kita? --Menurut lo. Pada dasarnya kita cuma sekumpulan cewek menyedihkan, bukan berkumpul atas dasar ikatan sakral bernama teman." Elina bisa mendengar dengusan kesal Racel dalam jeda panjang sambungan telepon yang masih tersambung.
"Oh, jadi gitu? Lo gak sadar siapa yang berdiri disamping lo dua tahun SMA?" Sudah jelas dari nada suaranya, Racel sedang emosi.
Menghela nafasnya lelah, Elina berucap. "Ini tahun terakhir SMA, gue gak mau cari masalah apalagi cari musuh. Kita semua tau, Ra. Disini gak ada yang bener-bener tulus berteman, kita cuma saling memanfaatkan, lo dapat hasil dengan makin tenar dan gue gak tampak menyedihkan ngabisin jam istirahat sendirian."
"Picik banget pikiran lo, jadi disini gue peran antagonisnya? Emang apa hebatanya Rhosyi, huh? Lo lupa siapa yang ada disana bareng lo ngebangun modern dance dan bikin ekskul itu jaya dan jadi kebanggaan sekolah kita. Cuma gue orangnya El, kenyataanya cuma gue 'kan temen lo."
"Menurut lo aja, yang ngakunya temen tapi bantuin musuh temennya itu apa?"
"Alden itu mau nyadarin lo--
"Kalau dia jauh lebih brengsek dari yang gue kira?" Potong Elina. "Makasih Ra, gue sadar dan gue gak mau jatuh dilubang yang sama buat kedua kalinya."
"Sok suci lo, El."
Kalau yang Racel maksud dengan masih suci jelas tidak perlu diragukan bahwa Elina menjaga kehormatanya dan harga dirinya sebagai perempuan. Tapi jika yang dimaksud Racel bukan itu, berati dia belum suci. Elina gak pernah wudhu sebelum tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
CIRCLE
Teen FictionSiapa bilang menjadi seorang 'Pusat semua mata' adalah posisi sempurna? Terkadang, selalu ada dongeng muram dibalik gemerlap apa yang tampak didepan mata. Dan saat masa lalu yang menyakitkan kembali untuk mengobati luka kasat mata. Dan ketika masa d...