BAB 12

35 3 0
                                    

Enggar tidak mengerti kenapa begitu sulit meminta alamat rumah cewek itu. Apakah wajahnya seperti potongan keriminal yang bisa saja membobol pintu dari kayu mahoni dengan ukiran mahal? Tapi kenyataanya, memanjat pagar hitam yang mengurung rumahnya saja Enggar sangsi berani turun saat sudah diatas. Atau, muka Enggar ada tampang perampok untuk sekedar tamu yang mungkin bisa menghabiskan isi kulkasnya? Ah berlebihan, bahkan Enggar yakin keluarga cewek itu bisa menafkahi lima puluh pembantu untuk mengurus masion sebesar ini andai mereka mau.

Dan disinilah Enggar sekarang, bercakap dengan satpam rumah Elina yang ramah. Tentu dia harus berdebat sepanjang tol cibinong dengan Elina di line untuk membuat cewek itu mengalah, berakhir dengan mengirim nama sebuah jalan di salah satu ibukota.

Bisa hancur sisi cowok Enggar bila tadi dia membiarkan cewek itu yang menang dan menjemputnya.

Bisa diketawakan tujuh generasi.

Bisa diceng-ceng ketiga temannya sampai kiamat.

Bisa dicap banci oleh ibu, kakak, dan adiknya.

Bisa gantung diri dipohon terong dirinya, bukan jadi terong-terongan.

Bisakah Enggar berhenti memikirkan hal yang tidak terjadi? Ah, salah fokus mulu.

"Maaf lo mas, tadi saya kira penguntit, habisnya gak ada temen sekolah mbak Elina yang pernah dibolehin kesini. Saya aja sangsi ada yang tau rumah mbak Elina kecuali mas Jordan." Kata Satpam rumah Elina, Pak Burhan.

Dahi Enggar mengerenyit. Tidak ada yang tau rumahnya? Teman satu sekolah? Satu kelas? Tapi nama Jordan lebih membuat Enggar mati penasaran. "Jordan?"

"Iya, sepupunya." Jawab Pak Burhan menyesep kopi hitamnya. "Tapi, mas Jordan juga jarang kesini. Kalau ada perlu sekalipun mereka lebih milih janjian diluar."

Dari banyaknya hal ganjil yang membuat Enggar berkali-kali menautkan alis atau mengerenyitkan dahi, dia ingin bertanya kenapa. Tapi Elina sudah lebih dulu datang.

"Maaf lama." Kata cewek itu merasa bersalah.

Tadi Elina bilang dirinya ketiduran. Bahkan saat Enggar datang, cewek itu menyambutnya dengan muka bantal yang setengah sadar kemudian berganti terkejut setengah hidup. Sangat lucu. Dan sangat cantik diwaktu yang bersamaan. Dan sekarang Elina semakin cantik dengan hondie putih kebesaran dengan jeans hitam panjang, Enggar memang memintanya untuk memakai pakaian hangat, berhubung malam hari dan tempat yang mereka kunjungi kemungkinan dingin.

Enggar berdiri dari kursi pos penjanga. "Engga, kok. Udah siap?" Mendapat anggukan Elina, Enggar berpamitan pada Pak Burhan.

"Yakin gue gak perlu minta ijin sama Ortu lo, karena udah bawa anaknya dimalam minggu?"

Elina tertawa kecil menanggapi itu. "Mereka lagi dinas keluar kota, dan baru pulang minggu depan."

Dan fakta itu membuat Elina bernafas lega.

"Atau gue ninggal ktp sama Pak Burhan?" Tawar Enggar masih ragu, untuk beberapa alasan Enggar tidak mau di cap jelek keluarga Elina.

Ehem, kesan pertama.

"Apan, sih. Apa gue perlu menunjukan sertifikat kemampuan karate gue kalau lo mau macem-macem." Seringai kecil Elina tanpa kesan sombong mampu membuat Enggar terkejut --Dengan ucapan Elina, bukan ekspresinya.

Pantes kalau lagi salting mukul lengan gue bisa sampai sakit. Batin Enggar.

Menutupi keterkejutanya Enggar tertawa --yang sialnya-- terdengar gugup. "Gue harus memastikan gue pulang masih dengan wajah cogan gue."

Mendengar itu Elina tertawa. "Jadi, kita mau kemana?"

Enggar menggaruk tengkuknya. "Sayangnya gue akan jadi cowok mainstream yang pasaran malem ini, jadi gue harap nanti gue gak terlihat semenyedihkan itu." Kekehnya.

CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang