BAB 7

28 5 0
                                    

Dengan dres formal dan etika makan bagai putri. Elina memotong steaknya, menyuapkanya pada mulut setengah hati. Belum lagi senyum miring cowok didepanya membuat saus mushroomnya seakan terasa basi --Meski sejujurnya Elina belum pernah makan makanan yang sudah kadaluarsa.

"Kalian satu sekolahan 'kan, jadi udah saling kenal, ya?" Tanya ibu Elina, Mirna.

Alden menangguk. "Udah tante, lagian siapa yang gak kenal Elina, si. Tan. Udah cantik, ketua Modern dance yang talentnya menggunung."

Mendengar itu, Mirna tertawa kecil bersama Sadira, ibu Alden. "Dan siapa yang gak kenal ketua basket SMA Nusa tungga."

"Yang merupakan player paling unggul, mantan Elina paling menyedihkan, dan terima kasih. Rasanya Elina tidak mau mengenal dia, jika bisa." Tambah Elina dalam hati.

Kenapa dari semua cowok didunia ini, banyaknya anak temen bisnis Mama, dan dari daftar orang yang masih bisa Elina kenali harus dia? Alden Handoko.

"Ah, enggak juga tante." Kata Alden menanggapi pujian Mirna.

Menjijikan.

Rasanya Elina ingin mati saja.

Oh, tunggu. Mati?

Lupakan.

Jangan biarkan seorang Alden yang membuat Elina kalah.

Tapi, harusnya malam ini Elina membayar hutang pada Enggar, menikmati angin malam di tempat makan langganan Elina, bukan tercekik di lestoran bintang lima yang serasa tak memiliki udara. Menyebalkan.

Tersenyum manis."Vanesia apa kabar? Dia cerita sama gue hampir setiap detik betapa hubungan kalian sangat bahagia, aman, dan sentosa." Kata Elina mengingat ucapan Vanesia beberapa hari yang lalu.

Dapat Elina rasakan tatapan tajam ibunya, dan raut terkejut ibu Alden saat Elina menikmati wajah panik Alden.

"Ah, dia. Itu cuma, ya kita cuma berteman, teman Elina. Mungkin Vanesia yang salah mengartikan hubungan kita."

Tapi bukan itu jawaban yang Elina tangkap. "Well, gue bisa urus dia dengan mudah. Tinggal katakan putus dan semua beres sudah." Mungkin Alden akan menjawab seperti itu andai para ibu tidak ikut terlibat.

Tersenyum lega Sadira berucap. "Iya, Elina. Pasti cuma salah paham aja."

Sial.

Masih berusaha mempertahankan senyumnya, Elina kembali berucap dengan santai. "Ah, mungkin iya. Pasti gue juga cuma salah mengartikan hungunan lo sama Luna, Niken, Zela, Tiffany, dan siapa kemarin yang lo temenin itu, waktu gue beli burger, ingat?"

"Elina." Tentu itu nada peringatan dari ibunya.

"Gak papa tante, Elina makin cantik kalau lagi cemburu. Mereka juga cuma teman, Elina. Lo tau sendiri center kaya kita terlalu mudah dijadikan bahan gosip di sekolah." Jawab Alden menyeringai.

Great, Elina harus mendaftarkan Alden dalam nominasi aktor of the year.

"Dengar itu Elina, jangan mudah mengambil kesimpulan. Dimana Elina yang biasanya berkelas?" Kata ibunya dengan nada ancaman, dan tentu hanya Elina yang bisa menangkapnya.

Double Sial.

"Maaf, Elina kebelakang sebentar." Mengeser kusinya, Elina berjalan meninggalkan meja terkutuk itu menuju toilet.

Beruntung toilet itu sepi, jadi Elina bisa lebih leluasa berdiri didepan cermin besar wastafel. Menatap mata biru yang balik menatapnya, pipi tirus yang kini tersapu make-up tipis hasil paksaan ibunya, rambut panjang kecoklatan yang dibiarkan bergelompang pada bagian bawah.

CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang